Setiap kisah besar memiliki sebuah awal. Untuk Jakarta, kisah itu tidak dimulai dari gedung-gedung beton, melainkan dari pertemuan lembut antara air tawar Sungai Ciliwung dan air asin Laut Jawa. Di muara inilah, selama berabad-abad, pusaran sejarah berputar, mengubah sebuah bandar niaga sederhana menjadi gerbang yang diperebutkan oleh berbagai bangsa di dunia.
Jauh sebelum peta modern tergambar, cakrawala di pesisir ini didominasi oleh tiang-tiang kapal dari berbagai penjuru. Bandar ini dikenal sebagai Sunda Kelapa. Di bawah naungan Kerajaan Pajajaran, pelabuhan ini berdenyut sebagai sebuah pusat niaga yang kosmopolitan. Bayangkan aroma lada yang menyengat—komoditas primadona saat itu—berbaur dengan bau khas lautan dan aneka bahasa para saudagar dari Tiongkok, Gujarat, hingga Persia. Ini bukanlah sekadar pelabuhan, melainkan sebuah panggung interaksi budaya global pertama di kawasan ini.
Kemakmurannya yang tersohor tak pelak mengundang perhatian dari Eropa. Bangsa Portugis, dengan kapal-kapal karavelnya yang tangguh, menjadi yang pertama tiba. Merasa terimpit oleh pengaruh kerajaan Islam yang kian menguat di Jawa, penguasa Sunda mencoba menjalin sebuah aliansi strategis. Kesepakatan ini diabadikan dalam sebuah tugu batu yang disebut Padrão pada tahun 1522, sebagai simbol izin bagi Portugis untuk mendirikan pos dagang dan benteng [1]. Namun, langkah politik ini justru menjadi pemicu konflik.
Bagi kekuatan baru di tanah Jawa, yakni persekutuan Demak dan Cirebon, aliansi Sunda-Portugis dipandang sebagai ancaman yang harus dipatahkan. Puncak dari ketegangan ini terjadi pada 22 Juni 1527. Dalam sebuah peristiwa yang kelak menjadi fondasi hari jadi kota, pasukan gabungan di bawah komando Fatahillah berhasil mengambil alih kendali pelabuhan. Untuk merayakan kemenangan yang mengubah peta kekuatan ini, nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta, yang bermakna “Kemenangan yang Sempurna” [2].
Jayakarta pun berkembang di bawah Kesultanan Banten, namun panggung sejarah belum usai. Benih-benih perubahan baru datang bersama kapal-kapal dagang Belanda dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dengan kelihaian diplomasi dan kekuatan modal, mereka awalnya hanya meminta sebidang tanah untuk loji dagang. Namun di benak Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, tersembunyi sebuah visi yang jauh lebih besar: menjadikan Jayakarta sebagai pusat imperium dagang VOC di seluruh Asia.
Momen inilah yang menjadi titik balik paling dramatis. Melalui konflik dan intrik yang memuncak pada tahun 1619, Coen merebut dan membumihanguskan Jayakarta. Di atas abu dan puing-puing kota itulah, ia meletakkan batu pertama untuk sebuah kota impiannya, yang dirancang dengan cetak biru kota-kota di negerinya. Lahirlah ‘Sang Ratu dari Timur’: Batavia [3].
Wajah Jakarta Utara yang kita lihat sisa-sisanya hari ini adalah warisan dari era Batavia. Coen membangun sebuah kota benteng (kasteel) dengan jalanan lurus dan kanal-kanal yang membelahnya, lengkap dengan jembatan angkat dan gedung-gedung pemerintahan.
Di sepanjang dermaga, berdiri kokoh gudang-gudang rempah yang masif (kini Museum Bahari), berfungsi sebagai brankas raksasa tempat kekayaan alam Nusantara dikumpulkan.
Sebuah menara pemantau, Menara Syahbandar, didirikan sebagai mata kota untuk mengawasi setiap pergerakan di pelabuhan.
Arsitektur ini, dengan segala kemegahannya, adalah pernyataan kekuasaan VOC atas jalur perdagangan dunia [1].
Sejarah Jakarta Utara adalah sebuah narasi berlapis tentang transformasi. Dari bandar niaga Kerajaan Sunda, menjadi kota kemenangan Jayakarta, hingga akhirnya menjadi pusat kekuasaan kolonial Batavia. Gema dari setiap era itu masih terasa hingga kini di antara bangunan-bangunan tua yang bisu dan angin laut yang tak pernah berhenti berhembus.
Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2000). Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II: Dokumen-dokumen Sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-18. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Buku ini merupakan rujukan utama untuk periode awal Batavia, termasuk detail tentang Padrão dan tata kota yang dibangun VOC.
Tjandrasasmita, Uka. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Prof. Uka Tjandrasasmita banyak mengulas periode kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, termasuk konteks penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah.
Marihandono, Djoko. (Ed.). (2008). Titik Balik Historiografi di Indonesia. Jakarta: Wedatama Widya Sastra & Departemen Sejarah FIB UI. Kumpulan tulisan dalam buku ini, termasuk yang membahas tentang J.P. Coen dan VOC, memberikan analisis mendalam tentang motif dan dampak pendirian Batavia.