Sunda Kelapa: Rahim Peradaban di Pesisir Utara Jawa

Jauh sebelum Jakarta menjadi hutan beton dan denyut metropolitannya yang tak pernah tidur, eksistensinya bermula dari sebuah titik sederhana: sebuah muara sungai yang terlindung, tempat perahu-perahu dapat berlabuh dengan tenang. Di sinilah, di pesisir utara Jawa yang landai, sebuah pelabuhan bernama Sunda Kelapa lahir dan tumbuh menjadi rahim peradaban, sebuah panggung tempat kekuasaan, kekayaan, dan budaya dari berbagai penjuru dunia bertemu dan berbaur.

Sejarahnya membentang jauh ke belakang, bahkan mungkin hingga abad ke-5, namun namanya mulai terukir jelas dalam catatan sejarah sekitar abad ke-12 sebagai pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda, yang beribukota di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor modern). Bagi kerajaan yang terletak di pedalaman ini, Sunda Kelapa adalah gerbang mereka menuju dunia. Ia adalah corong ekonomi, tempat hasil bumi dari pedalaman Priangan yang subur mengalir untuk ditukarkan dengan barang-barang dari seberang lautan.

Bayangkan suasana pelabuhan ini pada masa keemasannya di abad ke-15 dan awal abad ke-16. Derit kayu kapal-kapal jung Tiongkok yang besar bersahutan dengan pekik para pelaut dari Gujarat dan Malabar. Tomé Pires, seorang apoteker Portugis yang mengamati dengan saksama denyut nadi perdagangan Asia, mencatat dalam karyanya Suma Oriental bahwa pelabuhan ini ramai dikunjungi. Dari sini, lada dengan kualitas terbaik menjadi primadona utama, daya tarik yang aromanya tercium hingga ke pasar-pasar di Eropa. Selain lada, ada pula beras, asam, dan sayuran yang diperdagangkan untuk ditukar dengan keramik Tiongkok yang indah, kain katun dan sutra dari India, serta koin-koin tembaga sebagai alat tukar [1]. Pelabuhan ini bukan sekadar tempat bongkar muat barang, ia adalah sebuah mozaik kosmopolitan yang hidup.

Namun, di balik hiruk pikuk perdagangan, angin perubahan politik mulai berembus kencang di tanah Jawa. Kekuatan kerajaan-kerajaan Islam, terutama Demak yang kian ekspansif, mulai menimbulkan kekhawatiran bagi Kerajaan Sunda. Dalam situasi inilah, pada tahun 1513, kapal-kapal Eropa pertama dari Portugis di bawah pimpinan de Alvin, tiba di Sunda Kelapa. Mereka disambut dengan baik. Bagi Raja Sunda, bangsa asing yang memiliki persenjataan canggih ini dilihat sebagai calon sekutu yang potensial untuk membendung pengaruh Demak [2].

Puncak dari hubungan ini terjadi pada 21 Agustus 1522. Utusan Portugis, Henrique Leme, tiba di Sunda Kelapa dan membuat perjanjian persahabatan dengan penguasa setempat. Sebagai tanda kesepakatan, sebuah tugu batu berpola khas Portugis, yang disebut padrão, didirikan di tepi muara Ciliwung. Perjanjian ini memberikan hak kepada Portugis untuk mendirikan sebuah benteng dan gudang di Sunda Kelapa, sebagai imbalan atas bantuan militer yang akan mereka berikan.

Akan tetapi, takdir berkata lain. Aliansi itu tak pernah terwujud. Sebelum Portugis sempat kembali untuk membangun benteng mereka, persekutuan antara Demak dan Cirebon telah bergerak lebih dulu. Mereka memandang perjanjian Sunda-Portugis sebagai ancaman besar. Di bawah pimpinan Fatahillah (Falatehan), seorang tokoh yang dihormati, pasukan gabungan ini melancarkan serangan dan pada tahun 1527, mereka berhasil merebut pelabuhan strategis tersebut [3].

Penaklukan ini menjadi titik balik yang fundamental. Ia tidak hanya menandai berakhirnya kekuasaan Kerajaan Sunda atas pelabuhan tersebut, tetapi juga menutup babak sejarah Hindu-Buddha di kawasan pesisir ini. Untuk menandai kemenangan dan era yang baru, Fatahillah mengubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Warisan Sunda Kelapa tidak pernah benar-benar padam. Meskipun namanya telah berganti dan di atasnya kelak berdiri kota Batavia lalu Jakarta, fungsi vitalnya sebagai pelabuhan terus berlanjut. Bahkan hingga hari ini, saat kita mengunjungi area yang sama, kita masih bisa melihat kapal-kapal Phinisi yang megah bersandar. Kapal-kapal kayu itu seolah menjadi gema dari masa lalu, pengingat abadi akan sebuah muara sungai yang pernah menjadi salah satu gerbang niaga terpenting di dunia.

Sumber Referensi:
Pires, Tomé. (Ditulis 1512-1515, Terbit 1944). The Suma Oriental of Tomé Pires. London: Hakluyt Society. Catatan perjalanan Pires adalah sumber primer Eropa yang paling detail dalam menggambarkan kehidupan ekonomi dan sosial di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, termasuk Sunda Kelapa, sebelum era kolonialisme yang masif.

Heuken, Adolf. (2000). Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid I. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Pastor Adolf Heuken melakukan studi mendalam terhadap dokumen-dokumen asli dan memberikan analisis terperinci mengenai hubungan antara Kerajaan Sunda dan Portugis.

Tjandrasasmita, Uka. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sebagai sejarawan dan arkeolog, Prof. Uka memberikan konteks yang luas mengenai penyebaran Islam di Jawa dan peran tokoh seperti Fatahillah dalam perubahan politik pada abad ke-16.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest