Masjid Luar Batang: Kisah Sang Habib, Karomah, dan Denyut Spiritual di Pesisir Batavia

Di tengah denyut Pelabuhan Sunda Kelapa yang tak pernah berhenti, di antara hiruk pikuk aktivitas bongkar muat dan aroma laut yang khas, berdiri sebuah bangunan yang memancarkan ketenangan dan wibawa: Masjid Jami’ Keramat Luar Batang. Ini bukanlah sekadar tempat ibadah biasa. Bagi ribuan peziarah yang datang silih berganti, ia adalah sebuah pusat spiritual, sebuah bukti hidup dari kisah seorang ulama besar yang karismanya melintasi zaman. Sejarah masjid ini tak bisa dipisahkan dari riwayat pendirinya, Al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus.

Kisah ini dimulai pada paruh pertama abad ke-18. Seorang pemuda alim bernama Husein bin Abubakar Alaydrus meninggalkan tanah kelahirannya di Hadhramaut, Yaman, untuk berdakwah. Perjalanannya, layaknya banyak ulama Hadhrami lainnya pada masa itu, membawanya melintasi Samudera Hindia dan akhirnya berlabuh di Batavia sekitar tahun 1736. Batavia saat itu adalah pusat kekuasaan VOC yang penuh dengan intrik dan pengawasan ketat, namun juga menjadi ladang subur bagi penyebaran ajaran Islam yang damai [1].

Habib Husein memilih untuk menetap di sebuah perkampungan nelayan di pesisir, tepat di luar batas keamanan pelabuhan. Pada masa itu, untuk mengontrol akses keluar-masuk kapal dan mencegah penyelundupan, VOC memasang sebuah penghalang atau pos penjagaan di muara kanal. Penghalang ini berupa batang atau balok kayu besar yang melintang di perairan. Karena tempat tinggal Habib Husein berada persis di luar batas batang tersebut, maka area itu kemudian dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Kampung Luar Batang [2]. Di sanalah, di tengah kaum nelayan dan masyarakat pesisir, beliau memulai dakwahnya, mendirikan sebuah surau (musala) sederhana dari kayu dan bambu sebagai pusat kegiatan.

Kharisma dan kedalaman ilmu Habib Husein dengan cepat menarik simpati masyarakat. Namun, kepopulerannya juga tak luput dari perhatian pemerintah kolonial VOC, yang selalu curiga terhadap tokoh yang memiliki pengaruh massa. Menurut riwayat yang dipercaya turun-temurun, Habib Husein pernah ditangkap dan dipenjarakan oleh VOC di sebuah sel di sekitar Gedung Fatahillah. Di sinilah salah satu karomah (kemuliaan atau keajaiban) beliau yang paling terkenal muncul. Dikisahkan bahwa meskipun tubuhnya terkurung di dalam sel, setiap hari Jumat beliau secara misterius terlihat berada di tengah-tengah jemaah untuk mengimami salat di suraunya di Luar Batang, lalu kembali berada di selnya setelah salat usai. Peristiwa ini membuat para serdadu VOC kebingungan dan akhirnya melepaskan beliau dengan penuh rasa hormat [3].

Habib Husein wafat pada hari Kamis, 24 Juni 1756. Sebelum wafat, beliau berwasiat agar dimakamkan di area surau kecil yang ia dirikan. Namun, beberapa murid dan kerabatnya berencana untuk memakamkannya di pemakaman elite untuk kalangan Arab pada masa itu di kawasan Tanah Abang. Di sinilah karomah kedua yang melegenda terjadi. Ketika jenazahnya hendak diusung keluar dari area Luar Batang, keranda tersebut tiba-tiba menjadi luar biasa berat dan tak bisa digerakkan sedikit pun. Namun, ketika keranda diarahkan kembali menuju suraunya, bobotnya terasa ringan seperti biasa. Peristiwa ini ditafsirkan sebagai isyarat keras dari sang Habib untuk menunaikan wasiatnya. Akhirnya, beliau pun dimakamkan tepat di samping surau yang sangat dicintainya [2, 3].

Sejak saat itu, makam Habib Husein menjadi tujuan ziarah yang tak pernah sepi. Suraunya yang sederhana, berkat sumbangan dan wakaf dari para peziarah serta pedagang yang menghormatinya, perlahan-lahan diperluas dan dibangun kembali hingga menjadi masjid megah seperti yang kita lihat hari ini.

Masjid Luar Batang adalah saksi bisu perjalanan dakwah Islam di tengah cengkeraman kolonialisme. Ia adalah monumen yang menceritakan kisah tentang keteguhan iman, karisma seorang wali, dan asal-usul sebuah nama kampung yang unik. Lebih dari itu, ia adalah nadi kehidupan spiritual yang terus berdenyut, mengikat masa lalu Batavia dengan masa kini Jakarta dalam jalinan sejarah yang sakral.

Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2003). Gereja-gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Meskipun fokus pada gereja, buku ini memberikan konteks historis yang kaya tentang komunitas-komunitas religius di Batavia abad ke-18, termasuk komunitas Arab dari Hadhramaut.

Shahab, Alwi. (2004). Saudagar Baghdad dari Betawi. Jakarta: Penerbit Republika. Alwi Shahab, seorang jurnalis dan sejarawan yang berfokus pada komunitas Arab dan Betawi di Jakarta, banyak menulis tentang sejarah Luar Batang dan kisah-kisah lisan yang berkembang di masyarakat. Karyanya menjadi referensi penting untuk narasi lokal.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai penelitian dan publikasi mengenai situs-situs ziarah dan Islam di Jakarta seringkali merujuk pada riwayat lisan dan sejarah yang dijaga oleh pengurus masjid. Riwayat mengenai karomah Habib Husein adalah bagian dari hagiografi (kisah kesucian) yang diterima luas dalam tradisi ini.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest