Museum Bahari: Dari Gudang Rempah VOC Menjadi Jendela Maritim Nusantara

Di tepian muara Sungai Ciliwung yang keruh, di mana air tawar bertemu dengan lautan yang membawa takdir, berdiri kokoh sekumpulan bangunan dengan dinding tebal dan jendela-jendela besar. Kini dikenal sebagai Museum Bahari, gedung-gedung ini adalah saksi bisu dari pasang surut sejarah Jakarta selama lebih dari tiga setengah abad. Dindingnya yang memutih oleh terpaan garam dan waktu bukan sekadar batu bata; ia adalah kapsul waktu yang menyimpan aroma pala dan cengkih, gema perintah para juru tulis Belanda, dan derit ribuan gerobak yang mengangkut kekayaan Nusantara.

Kisah gedung ini dimulai pada puncak kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Pada pertengahan abad ke-17, Batavia telah kokoh sebagai pusat imperium dagang mereka di Asia. Untuk menampung dan mengamankan komoditas paling berharga di dunia saat itu—rempah-rempah, kopi, teh, dan tekstil—VOC memerlukan gudang-gudang yang bukan hanya besar, tetapi juga kuat laksana benteng. Maka, di seberang Kasteel Batavia (Kastil Batavia), di sisi barat muara Ciliwung, dimulailah pembangunan kompleks gudang raksasa yang dikenal sebagai Westzijdse Pakhuizen atau “Gudang-gudang Sisi Barat”.

Pembangunan tidak terjadi serentak, melainkan bertahap. Gudang pertama di sisi paling barat (kini ditempati Museum Bahari) mulai didirikan pada tahun 1652 dan terus diperluas ke arah timur hingga sekitar tahun 1771 [1]. Arsitekturnya adalah cerminan fungsinya: dinding setebal hampir satu meter dibangun untuk menjaga suhu di dalam agar tetap sejuk dan kering, melindungi rempah-rempah dari kelembapan tropis. Lantai atas ditopang oleh balok-balok kayu jati raksasa yang masih bisa kita lihat hingga hari ini, sementara pintu-pintu besi yang kokoh memastikan tidak ada satu pun biji pala yang bisa dicuri. Selama lebih dari satu setengah abad, kompleks gudang ini adalah perut raksasa bagi VOC, urat nadi ekonomi kolonial yang menghubungkan Nusantara dengan Amsterdam.

Setelah VOC bangkrut pada akhir abad ke-18 dan kekuasaan Hindia Belanda dimulai, fungsi gudang-gudang ini perlahan meredup seiring pergeseran pusat pelabuhan ke Tanjung Priok. Namun, gedung-gedung ini terlalu kokoh untuk diabaikan. Selama masa pendudukan Jepang, mereka digunakan untuk kepentingan logistik militer. Setelah kemerdekaan Indonesia, bangunan bersejarah ini sempat dialihfungsikan menjadi gudang bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) [2]. Ia terus melayani negara dalam kapasitas yang baru, meski kemegahan masa lalunya sebagai pusat perdagangan dunia telah pudar.

Titik balik kedua dalam riwayatnya datang pada era 1970-an, di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Dengan visinya yang tajam akan pentingnya pelestarian sejarah, Ali Sadikin melihat potensi luar biasa pada gudang-gudang tua yang terbengkalai ini. Muncul gagasan untuk mengubahnya menjadi sebuah museum yang didedikasikan bagi kejayaan maritim Indonesia. Setelah melalui proses restorasi yang cermat, pada tanggal 7 Juli 1977, kompleks gudang ini resmi dibuka untuk umum sebagai Museum Bahari [3].

Tembok yang dahulu menyimpan rempah-rempah kini berganti peran menjadi penjaga artefak kelautan. Ruang-ruangnya diisi dengan koleksi perahu tradisional dari berbagai daerah di Indonesia, miniatur kapal VOC dan kapal modern, peralatan navigasi kuno, hingga biota laut. Ia bertransformasi dari simbol eksploitasi ekonomi kolonial menjadi sebuah lembaga yang merayakan dan mengedukasi masyarakat tentang identitas Indonesia sebagai bangsa bahari.

Namun, perjalanan sang saksi bisu ini belum berakhir. Pada Januari 2018, sebuah tragedi melanda. Api melalap sebagian besar Blok A dan C museum, menghanguskan koleksi-koleksi tak ternilai dan merusak struktur atap kayu jati yang telah bertahan ratusan tahun [4]. Peristiwa ini menjadi duka mendalam, namun juga memicu gelombang dukungan dan komitmen baru untuk melindunginya. Proses restorasi yang panjang dan teliti pun dilakukan, sebuah upaya untuk menyembuhkan luka dan memastikan bahwa kisah-kisah yang tersimpan di dalamnya tidak akan lenyap ditelan zaman.

Hari ini, saat kita melangkah masuk ke dalam Museum Bahari, kita tidak hanya melihat benda-benda pajangan. Kita berjalan di atas lantai yang sama dengan para kuli angkut abad ke-18, menyentuh dinding yang menjadi saksi bisu kekayaan dan keserakahan, dan merasakan atmosfer sebuah bangunan yang telah melalui berbagai zaman—dari gudang kolonial, aset nasional, hingga kini menjadi penjaga memori maritim bangsa.

Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2016). Historical Atlas of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Atlas ini menyediakan peta-peta detail dan kronologi pembangunan Kota Tua Batavia, termasuk identifikasi dan tanggal pendirian kompleks Westzijdse Pakhuizen.

Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. (diakses 2025). Situs resmi dan publikasi dari Dinas Kebudayaan seringkali memuat informasi historis mengenai peralihan fungsi bangunan-bangunan cagar budaya di Jakarta pasca-kemerdekaan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (arsip). Sejarah peresmian Museum Bahari pada 7 Juli 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin tercatat dalam arsip-arsip pemerintah provinsi dan liputan media pada masa itu.

Arsip Berita Nasional (misalnya, Kompas, Tempo). (Januari 2018). Liputan media massa pada saat terjadinya kebakaran pada 16 Januari 2018 menjadi sumber utama untuk detail mengenai dampak kerusakan dan koleksi yang terdampak.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest