Menara Syahbandar: Mata Waspada Batavia yang Miring dan Berlapis Sejarah

Di sudut paling utara dari hiruk pikuk Kota Tua Jakarta, di mana aroma laut berbaur dengan debu sejarah, sebuah menara berdiri sedikit miring seolah lelah menopang beban zaman. Inilah Menara Syahbandar, sang penjaga pelabuhan yang sunyi. Namun, di balik fisiknya yang tampak tunggal, bangunan ini sesungguhnya adalah sebuah palimpsest—naskah tua yang ditulis berlapis-lapis—yang menyimpan setidaknya dua abad sejarah militer dan perdagangan Batavia dalam strukturnya.

Kisah menara ini tidak dimulai sebagai menara, melainkan sebagai benteng pertahanan. Pondasi tempatnya berpijak jauh lebih tua dari menara itu sendiri. Sekitar tahun 1645, VOC membangun sebuah bastion atau kubu pertahanan yang kokoh sebagai bagian dari tembok kota yang melindungi Batavia dari serangan laut. Bastion ini bernama Culemborg, salah satu dari puluhan kubu yang menjadikan Batavia kota yang sangat sulit ditembus pada masanya [1]. Selama hampir dua abad, Bastion Culemborg adalah bagian dari sistem pertahanan kota, saksi bisu dari berbagai kapal yang datang dan pergi di bawah pengawasan ketat.

Memasuki abad ke-19, wajah Batavia mulai berubah. Ancaman perang tak lagi segenting dahulu, dan tembok kota yang megah mulai dianggap menghalangi perkembangan. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk merombak fungsi area tersebut. Pada tahun 1839, di atas pondasi Bastion Culemborg yang kokoh, didirikanlah sebuah menara pemantau setinggi 12 meter. Inilah menara yang kita kenal sekarang [1, 2]. Fungsinya pun berubah total: dari pos pertahanan militer menjadi pusat administrasi pelabuhan.

Dari puncaknya, para petugas Syahbandar (penguasa pelabuhan) memiliki pemandangan 360 derajat. Mereka bisa mengawasi setiap kapal yang akan masuk, memberi isyarat, dan memastikan semua kapal membayar pabean atau bea cukai sebelum melakukan bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Menara ini menjadi mata waspada Batavia, nadi kehidupan pelabuhan yang sibuk dan menjadi sumber kekayaan pemerintah kolonial.

Salah satu aspek paling menarik dari Menara Syahbandar adalah teka-teki sejarah yang menempel di dindingnya. Terdapat sebuah prasasti besar yang didedikasikan untuk Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang dikenal dengan proyek ambisiusnya membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer hingga Panarukan. Prasasti itu bertanggal 1808-1809 [3]. Di sinilah letak kejanggalannya: bagaimana mungkin sebuah prasasti dari tahun 1809 menempel di menara yang baru dibangun pada tahun 1839?

Jawaban yang paling masuk akal, seperti yang diungkapkan oleh para sejarawan, adalah bahwa prasasti tersebut tidak berasal dari menara ini. Kemungkinan besar, prasasti itu diambil dari salah satu gerbang kota atau bangunan lain di dekatnya yang dihancurkan oleh Daendels atau setelah masanya, lalu dipindahkan dan ditempelkan ke dinding menara sebagai upaya penyelamatan benda bersejarah. Prasasti ini juga yang memuat penanda “0 KM,” menunjukkan titik awal pembangunan jalan Daendels dari Batavia [2].

Masa kejayaan Menara Syahbandar sebagai pengawas pelabuhan mulai meredup pada akhir abad ke-19. Pembukaan Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 1885, yang lebih modern dan dalam, mengalihkan pusat kegiatan maritim dari Sunda Kelapa. Perlahan, menara ini kehilangan fungsi vitalnya. Seiring waktu, kondisi tanah aluvial yang labil di pesisir Jakarta membuat pondasinya amblas secara tidak merata, menyebabkannya miring hingga kini, dan memberinya julukan “Menara Miring-nya Jakarta”.

Hari ini, Menara Syahbandar berdiri sebagai cagar budaya, bagian tak terpisahkan dari kompleks wisata Kota Tua. Ia bukan lagi sekadar menara, melainkan sebuah pelajaran sejarah tiga dimensi. Pondasinya adalah kisah pertahanan VOC abad ke-17, menaranya adalah saksi bisu puncak perdagangan abad ke-19, dan kemiringannya adalah pengingat tentang alam dan waktu yang terus bekerja. Ia adalah penjaga yang setia, meski lelah, yang terus mengawasi muara Ciliwung dengan semua cerita yang pernah dibawanya.

Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2016). Historical Atlas of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Pastor Heuken memberikan data kronologis dan pemetaan yang paling akurat mengenai bastion-bastion VOC, termasuk Bastion Culemborg, serta tanggal pembangunan menara di atasnya.

Shahab, Alwi. (2004). Saudagar Baghdad dari Betawi. Jakarta: Penerbit Republika. dan tulisan-tulisan lainnya. Alwi Shahab seringkali membahas sejarah populer dan detail-detail unik dari bangunan-bangunan di Kota Tua, termasuk misteri di balik prasasti Daendels di Menara Syahbandar.

Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. Situs resmi dan papan informasi di lokasi seringkali mengutip isi prasasti dan menjelaskan fungsinya sebagai penanda titik nol kilometer Batavia pada era Daendels, serta statusnya sebagai Benda Cagar Budaya.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest