Di atas aliran Kali Besar yang legendaris, membentang sebuah jembatan kayu jati yang tampak kuno, dengan mekanisme katrolnya yang gagah seolah siap mengangkat lengan kapan saja. Inilah Jembatan Kota Intan, sebuah mesin waktu yang anggun dan saksi bisu terakhir dari era ketika kanal-kanal menjadi urat nadi kehidupan Batavia. Sejarahnya adalah cerita tentang kehancuran dan pembangunan kembali, tentang persaingan dagang, pasar ayam yang ramai, hingga penghormatan pada seorang ratu, menjadikannya lebih dari sekadar penyeberangan, melainkan sebuah monumen berlapis makna.
Kisah jembatan ini dimulai pada tahun 1628, hanya beberapa tahun setelah VOC mendirikan Batavia. Pada masa itu, Kali Besar menjadi jalur transportasi utama yang membelah kota. Untuk menghubungkan sisi barat dan timur, VOC membangun sebuah jembatan kayu sederhana. Tak jauh dari lokasi jembatan ini, kongsi dagang saingan VOC, Inggris, memiliki sebuah pos atau loji. Karena kedekatannya dengan pos Inggris inilah, jembatan ini pertama kali dikenal dengan nama Engelse Brug atau “Jembatan Inggris” [1]. Nama ini menjadi penanda awal dari rivalitas sengit antar kekuatan Eropa di tanah Batavia.
Usia Jembatan Inggris tidaklah panjang. Saat Sultan Agung dari Mataram melancarkan serangan besar ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629, jembatan ini berada di garis depan pertempuran dan hancur lebur. Namun, karena fungsinya yang vital, VOC segera membangunnya kembali setelah berhasil memukul mundur pasukan Mataram.
Pada tahun 1655, jembatan ini dibangun ulang dengan struktur yang lebih kokoh dan mendapatkan nama baru yang lebih mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Batavia. Di ujung selatan jembatan, terdapat sebuah pasar unggas yang selalu ramai. Aroma dan hiruk pikuk pasar itu begitu melekat sehingga jembatan ini pun populer disebut Hoenderpasarbrug, atau “Jembatan Pasar Ayam” [2]. Selama berabad-abad, nama ini bertahan, menjadi pengingat akan suasana pasar yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan di sekitarnya.
Layaknya banyak bangunan di Batavia yang terus-menerus diperbaiki akibat iklim tropis dan banjir, Jembatan Pasar Ayam pun mengalami beberapa kali perbaikan. Pada tahun 1938, pemerintah Hindia Belanda melakukan restorasi besar-besaran. Struktur jembatan yang tadinya murni kayu diganti dengan kerangka besi yang lebih kuat, namun dengan tetap mempertahankan papan kayu jati untuk lantainya dan mekanisme jungkat-jungkitnya yang khas. Dalam proses renovasi inilah namanya kembali diubah untuk menghormati Ratu Belanda yang berkuasa saat itu, menjadi Koningin Julianabrug atau “Jembatan Ratu Juliana” [1, 3].
Setelah kemerdekaan Indonesia, semangat nasionalisme mendorong perubahan nama-nama berbau kolonial. Jembatan Ratu Juliana pun perlu diberikan identitas baru yang lebih Indonesia. Nama yang dipilih adalah Jembatan Kota Intan. Nama “Intan” ini bukanlah tanpa alasan. Ia merujuk pada salah satu bastion atau kubu pertahanan Tembok Batavia yang lokasinya sangat dekat dengan ujung utara jembatan, yaitu Bastion Diamant (Berlian atau Intan). Dengan demikian, nama ini mengikat sang jembatan pada sejarah pertahanan kota yang lebih tua [2].
Hari ini, Jembatan Kota Intan adalah satu-satunya jembatan jungkat-jungkit peninggalan Belanda yang tersisa di Jakarta. Mekanismenya memang tak lagi berfungsi untuk mengangkat jembatan bagi kapal-kapal yang lewat, namun ia tetap berdiri dengan anggun. Berjalan di atas papan kayu jatinya yang tebal, kita seolah bisa mendengar derap langkah kaki serdadu VOC, teriakan para pedagang ayam, dan gemerincing lonceng kapal yang meminta jalan. Ia bukan lagi sekadar penyeberangan, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan kita dengan masa lalu Batavia yang kaya dan kompleks.
Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2016). Historical Atlas of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Atlas sejarah ini memberikan kronologi dan pemetaan yang paling akurat mengenai nama-nama awal jembatan (Engelse Brug, Julianabrug) serta konteks pembangunannya.
Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta & Unit Pengelola Kawasan Kota Tua. Publikasi resmi dan papan informasi di lokasi seringkali menjelaskan riwayat nama-nama jembatan, termasuk hubungannya dengan Hoenderpasar (Pasar Ayam) dan Bastion Diamant (Intan).
De Vrije Pers. (Arsip surat kabar, 1938-1939). Berita-berita dari surat kabar Hindia Belanda pada masa itu mencatat proyek-proyek pekerjaan umum, termasuk restorasi besar Jembatan Pasar Ayam menjadi Jembatan Ratu Juliana pada tahun 1938.