Mari kita jelajahi lorong waktu Jakarta Barat, sebuah wilayah yang menyimpan dua jantung yang berdetak dalam satu tubuh: jantung kekuasaan kolonial yang formal dan jantung perdagangan rakyat yang dinamis. Kisahnya adalah tentang kemegahan, tragedi, dan daya tahan yang luar biasa.
Jika Jakarta Utara adalah gerbang maritimnya dan Jakarta Pusat adalah etalase kekuasaan modernnya, maka Jakarta Barat adalah jantung asli Batavia. Di wilayah inilah, pada abad ke-17 dan ke-18, denyut nadi pemerintahan, hukum, dan perdagangan VOC berpusat. Namun, ia tidak berdetak sendirian. Tepat di sampingnya, tumbuh sebuah jantung lain yang tak kalah kuat: sebuah pusat niaga yang dibangun di atas puing-puing tragedi dan semangat gigih kaum Tionghoa. Sejarah Jakarta Barat adalah kisah tentang dua pusat yang saling terkait ini: Kota Tua yang megah dan Pecinan Glodok yang tangguh.
Pusat Kekuasaan: Stadhuis dan Kemegahan Kali Besar
Setelah Jan Pieterszoon Coen membumihanguskan Jayakarta pada 1619, ia membangun sebuah kota baru yang terencana dengan presisi. Pusat dari segala aktivitas sipil dan pemerintahan kota Batavia ini terletak di sebuah alun-alun megah yang kini kita kenal sebagai Taman Fatahillah. Di jantung alun-alun tersebut, pada tahun 1710, berdirilah sebuah bangunan yang paling berwibawa di seluruh Hindia Belanda: Stadhuis atau Balai Kota Batavia (kini Museum Fatahillah) [1].
Gedung ini lebih dari sekadar kantor gubernur. Ia adalah nukleus administrasi VOC. Di dalamnya, para petinggi kompeni merumuskan kebijakan, pengadilan (Raad van Justitie) menjatuhkan vonis, dan di ruang-ruang bawah tanahnya yang gelap dan lembap, para tahanan meratapi nasib. Berdiri di depan Stadhuis berarti berdiri di hadapan kekuasaan mutlak VOC. Mengelilingi alun-alun ini, berdiri pula gedung-gedung penting lainnya seperti kantor pengadilan dan gereja, menegaskan sentralitas area ini.
Di sisi barat Stadhuis, mengalir arteri utama kota, Kali Besar. Pada masa keemasannya, tepian kanal ini adalah etalase kemakmuran para elite Eropa. Rumah-rumah mewah bergaya indis dengan pilar-pilar tinggi dan halaman luas berderet di sepanjang tepiannya. Salah satu yang paling terkenal dan masih tersisa hingga kini adalah Toko Merah, sebuah kediaman megah yang pernah dihuni oleh beberapa Gubernur Jenderal. Kali Besar adalah “jalan protokol” via air, tempat perahu-perahu berlalu-lalang mengangkut barang dan para pembesar kota [1].
Tragedi 1740 dan Lahirnya Glodok
Sementara pusat kota dihuni para elite Eropa, komunitas Tionghoa, yang telah menjadi motor penggerak ekonomi sejak era Jayakarta, menempati area di dalam dan sekitar tembok kota. Namun, pertumbuhan pesat populasi mereka dan persaingan ekonomi menimbulkan gesekan dengan VOC. Puncaknya adalah sebuah peristiwa tragis yang selamanya mengubah wajah Batavia. Pada Oktober 1740, dipicu oleh kebijakan deportasi yang kejam dan ketegangan sosial, terjadi pemberontakan yang dibalas oleh VOC dengan aksi brutal: pembantaian ribuan orang Tionghoa yang dikenal sebagai Geger Pacinan [2].
Peristiwa kelam ini menjadi titik balik. Untuk memudahkan pengawasan dan kontrol, VOC mengeluarkan kebijakan baru. Komunitas Tionghoa yang selamat dilarang tinggal di dalam tembok kota dan direlokasi ke sebuah area khusus di luar gerbang selatan. Area inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi Glodok [3]. Lahirnya Glodok, dengan demikian, adalah sebuah kisah phoenix yang bangkit dari abu tragedi.
Glodok: Denyut Nadi Komersial yang Tak Terpadamkan
Jauh dari kata terpuruk, Glodok justru dengan cepat mentransformasi dirinya menjadi pusat perdagangan baru yang dinamis dan esensial bagi Batavia. Di sinilah denyut nadi ekonomi rakyat berdetak kencang. Toko-toko emas, pegadaian, warung makan, pemasok barang, hingga pusat kerajinan tangan tumbuh subur. Glodok menjadi urat nadi komersial yang memasok segala kebutuhan kota, sebuah peran yang dipegangnya hingga kini.
Di tengah kesibukan niaga, kehidupan spiritual dan budaya juga berakar kuat. Salah satu jangkar utamanya adalah Vihara Dharma Bhakti (Kim Tek Ie). Meskipun telah ada sebelum peristiwa Geger Pacinan, vihara ini menjadi pusat spiritual utama bagi komunitas Tionghoa yang membangun kembali kehidupannya di Glodok, menjadikannya salah satu klenteng tertua dan terpenting di Jakarta [3].
Warisan Ganda di Era Modern
Memasuki abad ke-19, pusat pemerintahan mulai bergeser ke selatan menuju Weltevreden (kini Jakarta Pusat) yang lebih sejuk dan sehat. Perlahan, area Balai Kota dan Kali Besar mulai kehilangan pamornya, menjadi “Kota Tua” yang terlupakan. Namun, Glodok terus berdenyut.
Hari ini, Jakarta Barat mewariskan dua wajah sejarah ini secara berdampingan. Di satu sisi, ada kemegahan arsitektur kolonial di Taman Fatahillah yang membisikkan kisah-kisah kekuasaan dan hukum. Di sisi lain, hanya beberapa langkah dari sana, ada labirin gang-gang dan jalanan Glodok yang semarak, menyuarakan cerita tentang daya tahan, semangat wirausaha, dan kekayaan budaya yang tak lekang oleh waktu. Memahami Jakarta Barat adalah memahami dialog konstan antara dua jantung Batavia ini.
Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2016). Historical Atlas of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Menyediakan peta dan deskripsi detail mengenai tata letak Kota Tua Batavia, termasuk lokasi Stadhuis, Kali Besar, dan bangunan-bangunan penting lainnya.
Blussé, Leonard. (2004). Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS. Blussé adalah salah satu sejarawan terkemuka yang meneliti secara mendalam arsip-arsip VOC dan memberikan analisis paling komprehensif mengenai latar belakang dan dampak dari Geger Pacinan 1740.
Coppel, Charles A. (2002). Studying Ethnic Chinese in Indonesia. Singapore: Singapore Society of Asian Studies. Karya-karya Coppel banyak membahas sejarah dan identitas komunitas Tionghoa di Indonesia, termasuk pembentukan dan perkembangan kawasan Pecinan seperti Glodok.