Museum Fatahillah: Jantung Kekuasaan dan Memori Jakarta yang Terluka

Museum Fatahillah, atau Stadhuis Batavia, adalah episentrum dari Kota Tua. Mari kita selami kisahnya, bukan hanya sebagai gedung, tetapi sebagai panggung utama di mana drama kekuasaan, keadilan dan penderitaan Batavia dipentaskan selama berabad-abad

Di pusat alun-alun yang kini dikenal sebagai Taman Fatahillah, berdiri sebuah bangunan yang tak lekang oleh waktu, megah sekaligus mengintimidasi. Dikenal luas sebagai Museum Fatahillah, nama resminya adalah Museum Sejarah Jakarta, namun sejarahnya yang paling fundamental terpatri pada nama aslinya: Stadhuis van Batavia, Balai Kota Batavia. Ini bukanlah sekadar gedung pemerintahan. Selama hampir dua abad, ia adalah jantung kekuasaan yang terbuat dari batu, tempat nasib sebuah imperium dagang dan jutaan nyawa di bawahnya ditentukan.

Ambisi VOC untuk membangun sebuah “Ratu dari Timur” menuntut sebuah balai kota yang dapat menandingi kemegahan Amsterdam. Bangunan yang kita lihat sekarang sebenarnya adalah Stadhuis ketiga, menggantikan dua balai kota sebelumnya yang lebih kecil dan sederhana. Pembangunannya dimulai pada tahun 1707 di masa Gubernur Jenderal Joan van Hoorn dan diresmikan tiga tahun kemudian, pada 1710, oleh penggantinya, Abraham van Riebeeck. Arsitekturnya sengaja meniru Istana Dam di Amsterdam, sebuah pernyataan tegas tentang status dan kekuatan Batavia sebagai pusat kekuasaan VOC di Asia [1].

Gedung ini memegang tiga pilar kekuasaan kolonial secara harfiah di bawah satu atap: eksekutif, yudikatif, dan punitif.

Pusat Administrasi (Eksekutif): Di lantai atas yang megah, para petinggi VOC, termasuk Dewan Hindia (Raad van Indië) dan Dewan Syahbandar (College van Schepenen), berkantor. Di sinilah keputusan-keputusan strategis terkait monopoli perdagangan rempah, penentuan pajak, dan administrasi kota dirumuskan. Ruangan-ruangan ini menjadi saksi perdebatan sengit dan penandatanganan surat-surat yang dampaknya terasa hingga ke pelosok Nusantara.

Pusat Keadilan (Yudikatif): Gedung ini juga merupakan rumah bagi lembaga peradilan tertinggi VOC, Raad van Justitie. Di ruang pengadilannya, hukum ditegakkan dengan standar Eropa yang seringkali asing dan keras bagi masyarakat lokal. Alun-alun di depannya (Stadhuisplein) kerap menjadi panggung bagi pembacaan vonis, di mana nasib seseorang ditentukan di hadapan publik [2].

Pusat Hukuman (Punitif): Wajah paling kelam dari Stadhuis tersembunyi di bawah lantainya yang megah. Ruang-ruang bawah tanahnya difungsikan sebagai penjara utama kota. Penjara ini terkenal sempit, gelap, pengap, dan sering terendam air saat pasang—kondisi yang brutal dan tidak manusiawi. Dinding-dinding inilah yang menjadi saksi bisu penderitaan ribuan tahanan, termasuk tokoh-tokoh perlawanan seperti Untung Suropati pada akhir abad ke-17. Bahkan, Pangeran Diponegoro juga pernah ditahan di sini untuk sementara waktu sebelum diasingkan ke Makassar pada tahun 1830 [3]. Di alun-alun depannya pula, tiang gantungan dan panggung eksekusi menjadi tontonan publik yang mengerikan, dirancang untuk menanamkan rasa takut dan kepatuhan.

Memasuki abad ke-19, pamor Stadhuis mulai meredup. Pusat pemerintahan Hindia Belanda yang baru secara bertahap pindah ke kawasan Weltevreden (kini sekitar Jakarta Pusat) yang lebih luas dan sehat. Gedung yang agung ini pun beralih fungsi. Ia pernah menjadi Kantor Gubernur Jawa Barat, dan setelah kemerdekaan, sempat digunakan sebagai markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0503 Jakarta Barat [1].

Transformasi terbesarnya terjadi pada era 1970-an. Atas prakarsa Gubernur Ali Sadikin, seorang pemimpin yang visioner dalam pelestarian warisan budaya, gedung yang sarat dengan sejarah kelam kolonial ini diputuskan untuk ‘ditebus’. Ia direstorasi secara besar-besaran dan pada 30 Maret 1974, diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta. Sebuah langkah simbolis yang luar biasa: gedung yang pernah menjadi simbol penindasan kini diubah menjadi lembaga yang menceritakan sejarah kota ini kepada rakyatnya sendiri.

Hari ini, saat melangkah ke dalam Museum Fatahillah, kita tidak hanya melihat artefak. Kita berjalan di atas lantai yang sama dengan para hakim VOC, menuruni tangga menuju penjara bawah tanah yang pengap, dan menatap keluar jendela ke alun-alun tempat sejarah dieksekusi. Gedung ini adalah pelajaran sejarah yang paling jujur: sebuah pengingat akan kemegahan arsitektur, sekaligus monumen dari masa lalu yang kompleks dan seringkali menyakitkan.

Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2016). Historical Atlas of Jakarta. dan (2003) Gereja-gereja Tua di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Karya Pastor Heuken memberikan detail arsitektur, kronologi pembangunan Stadhuis, serta peralihan fungsinya secara akurat.

Niemeijer, Hendrik E. (2012). Batavia: A Colonial Society in the 17th Century. Leiden: Brill. Niemeijer memberikan gambaran mendalam tentang masyarakat dan sistem hukum di Batavia, di mana Stadhuis menjadi pusatnya.

Carey, Peter. (2011). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press. Biografi definitif mengenai Pangeran Diponegoro ini mencatat detail penangkapannya hingga perjalanannya ke pengasingan, termasuk saat ditahan sementara di Stadhuis.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest