Toko Merah: Primadona Kali Besar dan Cerminan Kuasa yang Berganti Tangan

Toko Merah adalah salah satu bangunan paling ikonik dan sarat cerita di seluruh Kawasan Kota Tua. Mari kita urai lapis demi lapis sejarahnya, dari sebuah rumah tinggal para gubernur hingga menjadi sang primadona Kali Besar yang misterius.

Di antara deretan bangunan tua di sepanjang Kali Besar Barat, ada satu yang tak mungkin terlewatkan. Warnanya yang merah menyala seolah menyimpan bara api sejarah, kontras dengan bangunan-bangunan pucat di sekelilingnya. Inilah Toko Merah, sebuah nama yang sederhana untuk sebuah bangunan dengan riwayat yang luar biasa kompleks. Jauh dari sekadar “toko”, gedung ini adalah sebuah barometer sosial dan ekonomi Batavia, yang dinding-dindingnya menjadi saksi bisu dari pergantian kekuasaan, dari para Gubernur Jenderal VOC hingga saudagar Tionghoa kaya raya.

Kisah Toko Merah dimulai sekitar tahun 1730. Ia dibangun bukan sebagai satu, melainkan dua rumah tinggal terpisah yang dirancang berdampingan menjadi satu kesatuan yang megah. Pemilik dan penghuni pertamanya yang paling termasyhur adalah Gustaaf Willem, Baron van Imhoff, seorang pejabat tinggi VOC yang ambisius dan kelak menjadi Gubernur Jenderal [1]. Pilihan lokasinya di Kali Besar Barat—kawasan paling elite di Batavia saat itu—dan kemegahan arsitekturnya yang memadukan gaya Barok Eropa dengan sentuhan lokal, menunjukkan bahwa ini bukanlah sekadar rumah, melainkan sebuah pernyataan status dan kekuasaan.

Setelah van Imhoff, rumah ini terus menjadi kediaman bagi para elite kompeni. Nama-nama besar seperti Jacob Mossel, Reinier de Klerk, hingga Petrus Albertus van der Parra—semuanya adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda—pernah menghuni gedung ini [2]. Selama beberapa dekade, dinding-dindingnya seolah menyerap aura kekuasaan, menjadi tempat perjamuan mewah, lobi politik, dan pusat pengambilan keputusan informal para penguasa Batavia.

Titik balik penting dalam sejarah Toko Merah terjadi pada tahun 1786. Untuk pertama kalinya, gedung prestisius ini berpindah tangan dari kepemilikan Eropa ke seorang Tionghoa, yaitu Oey Liauw Kong, yang saat itu menjabat sebagai Kapitan Cina Batavia. Transaksi ini adalah sebuah momen signifikan yang merefleksikan pergeseran kekuatan ekonomi di dalam kota, di mana para elite Tionghoa mulai mampu menyaingi kemakmuran bangsa Eropa [3]. Konon, warna merah menyala yang menjadi ciri khasnya hingga hari ini baru diaplikasikan pada periode ini. Dalam budaya Tionghoa, warna merah adalah simbol keberuntungan, kemakmuran, dan kebahagiaan—sebuah penanda identitas baru bagi sang gedung.

Memasuki abad ke-19, fungsi Toko Merah kembali berubah. Dari sebuah rumah tinggal pribadi yang megah, ia bertransformasi menjadi gedung perkantoran dan bisnis. Tercatat ia pernah menjadi kantor untuk Bank voor Indië (Bank untuk Hindia) dan beberapa perusahaan dagang lainnya. Nama “Toko Merah” pun menjadi semakin populer di kalangan masyarakat, merujuk pada warnanya yang mencolok dan fungsinya sebagai pusat niaga [1].

Seiring waktu, seperti banyak bangunan lain di Kota Tua, Toko Merah sempat mengalami masa-masa suram dan terbengkalai. Namun, pesonanya yang tak lekang oleh waktu membuatnya terus menarik perhatian. Gedung ini juga diselimuti oleh berbagai legenda dan cerita mistis. Banyak yang mengaitkannya dengan peristiwa Geger Pacinan tahun 1740, meskipun secara kronologis bangunan ini telah berdiri sebelum tragedi tersebut. Kisah-kisah ini, terlepas dari kebenarannya, telah menjadi bagian dari aura misterius yang menyelimuti Toko Merah.

Setelah melalui beberapa kali kepemilikan dan restorasi besar-besaran, Toko Merah kini berdiri sebagai sebuah cagar budaya yang difungsikan sebagai ruang serbaguna untuk pameran, konferensi, dan berbagai acara. Ia tidak lagi dihuni oleh seorang gubernur atau dimiliki oleh satu perusahaan. Ia telah menjadi milik publik—sebuah panggung terbuka yang memamerkan keindahan arsitektur dan lapisan sejarahnya yang kaya.

Toko Merah adalah cerminan sempurna dari dinamika sejarah Jakarta. Setiap pemiliknya, dari van Imhoff hingga Oey Liauw Kong, dari bank hingga BUMN, mewakili sebuah babak baru dalam perjalanan kota ini. Warnanya yang merah menyala seakan menjadi simbol dari semangatnya yang tak pernah padam, meski telah melalui berbagai pergantian kuasa dan zaman.

Sumber Referensi:
Heuken, Adolf. (2016). Historical Atlas of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Menyediakan informasi paling akurat mengenai lokasi, arsitektur, dan beberapa penghuni awal Toko Merah di era VOC.

De Haan, F. (1922). Oud Batavia. Batavia: G. Kolff & Co. Karya monumental ini adalah sumber primer untuk daftar penghuni dan sejarah detail bangunan-bangunan penting di Batavia, termasuk Toko Merah.

Lohanda, Mona. (1994). The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society. Jakarta: Djambatan. Karya ini memberikan konteks mengenai peran dan status Kapitan Cina, yang menjelaskan bagaimana tokoh seperti Oey Liauw Kong dapat memiliki properti sepenting Toko Merah.

 

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest