Sejarah Jakarta Pusat dari Sunda Kelapa hingga Megapolitan

Pusat Jakarta hari ini adalah sebuah panggung raksasa yang menampilkan drama modernitas Indonesia. Hiruk pikuk lalu lintas yang melingkari Bundaran Hotel Indonesia, kemegahan Monumen Nasional yang menusuk langit, dan jajaran gedung pencakar langit yang berkilauan di bawah matahari tropis adalah wajah dari sebuah megapolitan yang dinamis. Namun, di balik fasad beton dan kaca ini, tersimpan sebuah narasi yang jauh lebih tua dan kompleks. Lanskap modern ini adalah sebuah palimpsest, sebuah naskah kuno di mana lapisan-lapisan sejarah telah ditulis, dihapus, dan ditulis ulang oleh berbagai peradaban, kekuasaan, dan ideologi. Setiap jengkal tanahnya adalah saksi bisu dari transformasi dramatis sebuah kawasan.

Artikel ini akan menelusuri lapisan-lapisan sejarah tersebut secara kronologis, mengupas evolusi wilayah yang kini kita kenal sebagai Jakarta Pusat. Perjalanan ini akan dimulai dari masa ketika kawasan ini hanyalah sebuah muara sungai yang ramai, berfungsi sebagai gerbang niaga bagi Kerajaan Sunda. Kemudian, kita akan menyaksikan bagaimana ia berubah menjadi benteng kolonial Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terisolasi, sebelum akhirnya berkembang menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang megah dan tertata rapi. Puncaknya, kita akan melihat bagaimana kawasan ini bertransformasi menjadi panggung utama di mana identitas bangsa Indonesia yang merdeka ditempa, diperdebatkan, dan diproyeksikan kepada dunia.

Untuk memberikan kerangka pemahaman awal, evolusi nama dan status administratif wilayah ini dapat dirangkum sebagai berikut, sebuah penanda dari berbagai babak kekuasaan yang telah membentuknya.   

Tabel 1: Evolusi Nama dan Status Administratif Jakarta

Nama Periode Keterangan
Sunda Kelapa Abad ke-14 Pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran, pusat perdagangan internasional yang sibuk.   
Jayakarta 1527 Ditaklukkan oleh Fatahillah dari Kesultanan Demak, nama berarti “Kemenangan yang Gemilang”.   
Stad Batavia 1621 Didirikan oleh VOC di atas reruntuhan Jayakarta, menjadi pusat pemerintahan kolonial.   
Gemeente Batavia 1905 Ditetapkan sebagai kotamadya (gemeente) dengan administrasi mandiri karena pesatnya perkembangan penduduk.   
Jakarta Tokubetsu Shi 1942 Nama diubah pada masa pendudukan Jepang untuk menarik simpati penduduk.   
Praj’a Jakarta 1950 Nama dan status ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan.   
Kotamadya Djakarta Raya 1958 Menjadi daerah otonom di bawah yurisdiksi Provinsi Jawa Barat.   
DKI Jakarta 1966 – sekarang Ditetapkan secara resmi sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia , statusnya terus diperbarui melalui undang-undang.   

Melalui penelusuran ini, akan terlihat jelas bahwa Jakarta Pusat bukan sekadar lokasi geografis. Ia adalah sebuah arena di mana berbagai visi tentang kekuasaan, kemakmuran, dan identitas saling berbenturan dan bernegosiasi, meninggalkan jejak abadi yang masih dapat kita saksikan hingga hari ini.

Di Muara Ciliwung – Era Sunda Kelapa dan Jayakarta

Jauh sebelum menjadi pusat pemerintahan, jantung wilayah Jakarta adalah sebuah pelabuhan yang berdenyut kencang oleh aktivitas perdagangan global. Sejarahnya dimulai di muara Sungai Ciliwung, sebuah lokasi strategis yang kelak menjadi cikal bakal sebuah kota besar.

Sunda Kelapa sebagai Gerbang Dunia

Pada abad ke-12, Pelabuhan Kalapa, atau lebih dikenal sebagai Sunda Kelapa, telah menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Nusantara. Berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu, dengan ibu kota di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor modern), pelabuhan ini berfungsi sebagai gerbang utama kerajaan ke panggung dunia. Catatan sejarah menunjukkan bahwa aktivitas di pelabuhan ini sudah ada sejak abad ke-5, pada masa Kerajaan Tarumanagara.  

Dayo (kota), pelabuhan ini dapat dicapai dalam dua hari perjalanan, menunjukkan betapa vitalnya koneksi antara pusat politik dan pusat ekonomi ini.   

Pada awal abad ke-16, lanskap geopolitik di Nusantara mulai bergejolak. Kekuatan-kekuatan baru muncul dan mengancam stabilitas yang telah lama terjaga. Di sebelah timur, kesultanan-kesultanan Islam seperti Demak dan Cirebon mulai menunjukkan kekuatan ekspansif mereka. Sementara itu, dari barat, kekuatan Eropa pertama, Portugis, telah berhasil merebut Malaka pada tahun 1511, sebuah pusat perdagangan vital yang menjadi batu loncatan untuk ekspansi lebih lanjut di Asia Tenggara. 

Merasa terancam oleh kekuatan Demak dan Cirebon, Raja Sunda, Prabu Siliwangi, mengambil langkah diplomatik yang berani. Ia mencari aliansi dengan kekuatan Eropa yang baru tiba itu. Pada tahun 1522, utusan dari Malaka, Henrique Leme, datang ke Sunda Kelapa atas undangan raja untuk menandatangani sebuah perjanjian dagang dan keamanan. Dalam perjanjian tersebut, pihak Portugis diizinkan untuk mendirikan sebuah benteng di muara Ciliwung sebagai imbalan atas perlindungan militer terhadap ancaman dari kesultanan Islam. Sebagai tanda persahabatan, Raja Sunda memberikan hadiah 1.000 bakul lada kepada Portugis. Perjanjian bersejarah ini diabadikan dalam sebuah monumen batu yang dikenal sebagai Padrão Sunda Kelapa, yang ditemukan kembali pada tahun 1918 dan kini menjadi koleksi Museum Nasional.  

Namun, aliansi strategis antara Kerajaan Sunda dan Portugis ini justru menjadi pemicu konflik yang lebih besar. Bagi Kesultanan Demak, persekutuan antara kerajaan Hindu dengan kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius yang tidak bisa dibiarkan. Sebelum Portugis sempat merealisasikan pembangunan benteng mereka, Demak melancarkan serangan preemptif.   

Lahirnya Sang Ratu dari Timur – Pendirian dan Pembangunan Batavia

Setelah penaklukan oleh Fatahillah, Jayakarta berada di bawah kendali Kesultanan Banten dan terus berfungsi sebagai kota pelabuhan penting. Namun, kedatangan kekuatan Eropa yang baru dan lebih agresif pada akhir abad ke-16 akan kembali mengubah takdir kota ini secara drastis, melahirkan sebuah entitas baru yang akan mendominasi Nusantara selama lebih dari tiga abad.

Jayakarta: Arena Persaingan Eropa

Pada awal abad ke-17, Jayakarta telah menjadi titik panas persaingan dagang dan politik antara dua kekuatan Eropa: Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dari Belanda dan English East India Company (EIC) dari Inggris. Terletak strategis di jalur perdagangan rempah-rempah, Jayakarta menjadi target ideal bagi VOC yang berambisi membangun markas besar permanen di Asia. Pangeran Jayawikarta, penguasa Jayakarta di bawah Kesultanan Banten, mencoba memainkan politik keseimbangan dengan menjalin hubungan dengan kedua belah pihak. Ia mengizinkan Belanda berlabuh pada tahun 1596 dan Inggris pada tahun 1602. 

Penghancuran dan Kelahiran Kembali

Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang dikenal ambisius dan kejam, melihat momen ini sebagai peluang untuk tidak hanya merebut kembali Jayakarta, tetapi juga untuk menghancurkan seluruh kekuatan saingannya dan membangun sebuah pusat kekuasaan Belanda yang tak tertandingi. Dengan armada yang kuat, ia kembali dari Maluku dan melancarkan serangan besar-besaran.   

Pada tanggal 30 Mei 1619, pasukan VOC berhasil menaklukkan Jayakarta. Coen kemudian mengambil keputusan radikal: ia memerintahkan agar seluruh kota Jayakarta dibumihanguskan. Tindakan ini bertujuan untuk menghapus total jejak kekuasaan sebelumnya dan memastikan tidak ada lagi basis kekuatan bagi lawan-lawannya. Di atas reruntuhan kota yang berasap, Coen memulai proyek pembangunan sebuah kota baru. Untuk menandai era baru ini, ia menamai kota tersebut Batavia, sebuah nama yang diambil dari Batavieren, suku Jermanik yang dianggap sebagai leluhur bangsa Belanda. Ini adalah sebuah pernyataan simbolis yang kuat tentang penegasan dominasi kolonial secara total.   

Batavia: Amsterdam di Tropis

Pembangunan Batavia adalah sebuah proyek rekayasa urban yang sangat ambisius. Coen dan para penerusnya tidak hanya membangun sebuah pos dagang, tetapi sebuah kota Eropa yang utuh di tengah iklim tropis. Desainnya secara sadar meniru kota-kota di Belanda, khususnya Amsterdam, sebagai sebuah upaya untuk menciptakan “nostalgia of homeland” atau kerinduan akan tanah air bagi para pegawai VOC yang bertugas di Hindia.   

Tata kota Batavia dirancang dengan pola grid yang teratur dan geometris. Pusatnya adalah sebuah benteng perkasa di sisi timur muara Ciliwung yang disebut Kastel Batavia, yang berfungsi sebagai pusat administrasi dan pertahanan. Kota itu sendiri dikelilingi oleh tembok tinggi dan parit yang dalam. Ciri khas utamanya adalah pembangunan kanal-kanal yang membelah kota, seperti    

Leeuwengracht, Groenegracht, dan Tijgersgracht. Kanal-kanal ini tidak hanya berfungsi sebagai sistem drainase dan pertahanan, tetapi juga sebagai jalur transportasi air, meniru fungsi kanal di Amsterdam. Pembangunan kota ini berjalan cepat; dalam kurun waktu delapan tahun, luas Batavia telah bertambah hingga tiga kali lipat dibandingkan Jayakarta sebelumnya, dan pembangunannya dianggap selesai pada tahun 1650.  

Masyarakat yang Terkotak-kotak

Di balik kemegahan arsitektur dan tata kota yang teratur, Batavia adalah sebuah masyarakat yang dibangun di atas fondasi segregasi rasial yang kaku dan diskriminasi yang terlembagakan. Pembangunan Batavia dimulai dengan pengusiran paksa penduduk lokal yang sebelumnya mendiami Jayakarta. Ruang kosong yang tercipta kemudian diisi oleh berbagai kelompok etnis yang didatangkan oleh VOC untuk menopang ekonomi kota.   

Struktur sosial Batavia sangat hierarkis. Di puncak piramida adalah orang-orang Eropa (Belanda dan tentara bayaran lainnya) yang tinggal di dalam tembok kota yang aman dan nyaman. Di bawah mereka ada kelompok-kelompok lain yang ditempatkan di permukiman terpisah di luar tembok, yang dikenal sebagai Ommelanden. Kelompok-kelompok ini termasuk orang Tionghoa, yang didatangkan sebagai pedagang dan pekerja; kaum Mardijkers, yaitu bekas budak keturunan Asia yang telah dimerdekakan oleh Portugis dan memeluk agama Kristen; serta ribuan budak yang didatangkan dari berbagai wilayah Nusantara dan India. Setiap kelompok etnis diwajibkan tinggal di kampong mereka masing-masing di bawah pimpinan kepala mereka sendiri, sebuah kebijakan segregasi yang disengaja untuk mencegah persatuan dan pemberontakan. 

Struktur yang terkotak-kotak ini menciptakan sebuah kota multikultural yang unik, di mana berbagai tradisi arsitektur, kuliner, dan budaya saling berinteraksi dan melahirkan budaya hibrida baru seperti budaya Peranakan Tionghoa dan budaya Indis (Eurasia). Namun, interaksi ini selalu berada dalam kerangka dominasi kolonial yang tidak setara. 

Pembangunan Batavia yang megah menyembunyikan sebuah kontradiksi yang pada akhirnya akan menyebabkan kejatuhannya sendiri. Di satu sisi, VOC membangun sebuah replika ideal kota Belanda sebagai simbol kemajuan dan kekuasaan. Di sisi lain, kota ini adalah pusat eksploitasi yang didasarkan pada sistem sosial yang represif. Ironisnya, elemen desain yang paling merepresentasikan nostalgia akan tanah air Belanda—kanal-kanal yang megah—justru menjadi penyebab utama kehancuran kota tersebut. Dalam iklim tropis, kanal-kanal yang dangkal dan berarus lambat ini dengan cepat menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah, menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan menjadi sarang nyamuk penyebar penyakit. Wabah penyakit seperti kolera, tifus, dan malaria merajalela, mengubah Batavia menjadi tempat yang dijuluki “kuburan orang Eropa” ( het graf der Europeanen). Upaya memaksakan model urban Eropa ke dalam konteks ekologi dan sosial tropis tanpa adaptasi yang memadai terbukti menjadi sebuah kegagalan fundamental. Kejatuhan Batavia Lama bukanlah sebuah kecelakaan sejarah, melainkan konsekuensi logis dari arogansi desain dan kontradiksi sosial yang tertanam sejak awal pendiriannya.

Pergeseran ke Selatan – Kebangkitan Weltevreden

Memasuki abad ke-18, reputasi Batavia sebagai “Ratu dari Timur” mulai memudar. Kota di dalam benteng yang tadinya menjadi simbol kebanggaan VOC kini berubah menjadi perangkap yang mematikan. Kondisi ini memaksa pemerintah kolonial untuk mencari alternatif, memicu sebuah eksodus besar-besaran ke arah selatan dan melahirkan sebuah pusat kekuasaan baru yang akan mendefinisikan wajah Jakarta Pusat hingga hari ini.

Kematian “Sang Ratu dari Timur”

Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, Batavia Lama (Oud Batavia) telah menjadi tempat yang sangat tidak layak huni bagi para elite Eropa. Kanal-kanal yang dulu dibanggakan kini menjadi sumber wabah penyakit yang mematikan. Sanitasi yang buruk dan kepadatan penduduk di dalam tembok kota memperparah penyebaran penyakit seperti kolera dan malaria, yang menyebabkan tingkat kematian yang sangat tinggi. Selain masalah kesehatan, kota benteng ini juga dianggap rentan secara militer. Perang yang berkecamuk di Eropa antara Belanda dan Inggris menimbulkan kekhawatiran bahwa Batavia dapat dengan mudah diserang dari laut. 

Visi Daendels untuk Pusat Kekuatan Baru

Titik balik dari pergeseran ini terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Dikirim oleh Louis Bonaparte (adik Napoleon) untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels adalah seorang administrator yang tegas dan visioner. Ia melihat bahwa Batavia Lama tidak lagi dapat dipertahankan baik dari segi kesehatan maupun militer. Oleh karena itu, ia mengambil keputusan drastis untuk memindahkan pusat pemerintahan secara resmi. 

Daendels memilih sebuah kawasan di dataran yang lebih tinggi sekitar 6 kilometer ke selatan, yang dikenal dengan nama Weltevreden. Nama ini berarti “sangat memuaskan” atau “sepenuhnya puas” dalam bahasa Belanda, mencerminkan kondisi lingkungannya yang jauh lebih baik. Ini bukan sekadar pemindahan kantor, melainkan proyek pembangunan sebuah kota baru yang dirancang dari awal untuk menjadi pusat pemerintahan, militer, dan kediaman elite Eropa. Untuk mempercepat pembangunan, Daendels bahkan memerintahkan penghancuran beberapa bangunan dan kastil tua di Batavia Lama untuk diambil bahan bangunannya. 

Tata Ruang Weltevreden: Lapangan Terbuka dan Kemegahan

Filosofi desain urban Weltevreden sangat berbeda dengan Batavia Lama. Jika Batavia Lama adalah kota benteng yang padat, tertutup, dan berkanal, Weltevreden dirancang dengan konsep yang lebih terbuka, lapang, dan monumental. Pusat dari kota baru ini bukanlah sebuah benteng, melainkan dua lapangan raksasa yang menjadi jantungnya: Waterlooplein (kini Lapangan Banteng) di timur, yang berfungsi sebagai lapangan parade militer, dan Koningsplein (kini Medan Merdeka) di barat, sebuah lapangan mahaluas yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan penting. 

Menariknya, tata ruang Weltevreden justru terinspirasi dari konsep penataan kota-kota tradisional di Nusantara (Jawa), di mana pusat kekuasaan (istana atau alun-alun) menjadi inti yang dikelilingi oleh jalan-jalan utama. Di sekitar kedua lapangan ini, dibangunlah jalan-jalan lebar yang saling terhubung, menciptakan sebuah pusat pemerintahan yang terintegrasi, di mana fungsi administrasi, militer, dan kehidupan sosial elite Eropa menyatu. Weltevreden dengan cepat menjadi pusat baru Batavia, sementara kota lama di utara semakin terdegradasi perannya.  

Arsitektur Ikonik Weltevreden

Sebagai penanda statusnya sebagai pusat kekuasaan Hindia Belanda, Weltevreden dihiasi dengan bangunan-bangunan megah yang dirancang dengan gaya arsitektur Eropa yang sedang populer saat itu, terutama gaya Indische Empire dan Neoklasik. Gaya ini dicirikan oleh bangunan bercat putih, pilar-pilar besar, dan beranda yang luas untuk menyesuaikan dengan iklim tropis.  

Beberapa bangunan ikonik yang didirikan pada era ini dan masih berdiri hingga sekarang antara lain:

  • Istana Gubernur Jenderal: Awalnya merupakan kediaman pribadi J.A. van Braam yang dibangun pada 1796, bangunan ini kemudian diambil alih pemerintah dan menjadi Istana Rijswijk (kini Istana Negara). Karena dianggap kurang representatif, pada tahun 1873 dibangunlah istana baru yang lebih megah di seberangnya yang menghadap Koningsplein, yang kemudian dikenal sebagai Istana Gambir (kini Istana Merdeka). Kompleks dua istana ini menjadi pusat kekuasaan eksekutif kolonial.   
  • Schouwburg Weltevreden (1814): Kini dikenal sebagai Gedung Kesenian Jakarta, gedung teater ini menjadi pusat hiburan dan kebudayaan bagi masyarakat elite Eropa.
  • Gereja Willemkerk (1830-an): Kini dikenal sebagai Gereja Immanuel, gereja Protestan ini dirancang dengan gaya klasisisme yang megah dan menjadi salah satu penanda visual utama di kawasan Gambir. 
  • Gereja Katedral (diresmikan 1901): Gereja Katolik Roma ini dibangun dengan gaya arsitektur Neo-Gotik yang menjulang, berseberangan dengan Waterlooplein 

Bangunan-bangunan ini bukan sekadar infrastruktur, melainkan simbol fisik dari kekuasaan, kemakmuran, dan kepercayaan diri pemerintah Hindia Belanda yang semakin kokoh.

Menteng, Kota Taman Pertama di Hindia Belanda

Sebagai puncak dari pengembangan Weltevreden, pada awal abad ke-20 pemerintah kolonial merencanakan sebuah kawasan hunian baru yang lebih eksklusif dan modern. Antara tahun 1910 dan 1918, dikembangkanlah Menteng, perumahan villa pertama di Batavia yang dirancang dengan konsep yang sangat matang.   

Kawasan ini secara eksplisit diperuntukkan bagi para pegawai tinggi pemerintah kolonial, pengusaha, dan kaum elite Eropa lainnya, menciptakan sebuah Europese Buurt (lingkungan Eropa) yang prestisius dan terisolasi. Arsitektur rumah-rumahnya pun beragam, mulai dari gaya Indis tradisional hingga Art Deco yang lebih modern, menjadikannya “taman bermain bagi para arsitek”. Pembangunan Menteng menjadi penanda puncak dari politik segregasi spasial, di mana sebuah idealisme gaya hidup Eropa diwujudkan dalam sebuah kantong yang terpisah secara fisik dan sosial dari hiruk pikuk kehidupan masyarakat pribumi dan etnis lainnya.   

Pembangunan Weltevreden dan Menteng lebih dari sekadar solusi praktis terhadap masalah kesehatan dan keamanan di Batavia Lama. Ini adalah sebuah proyek rebranding dan konsolidasi kekuasaan kolonial. Jika VOC membangun Batavia sebagai kota benteng yang fungsional untuk perdagangan, pemerintah Kerajaan Belanda (pasca-VOC) membangun Weltevreden sebagai etalase kekuasaan imperial yang monumental dan representatif. Desainnya yang berpusat pada lapangan parade, istana, dan perumahan elite tidak lagi berfokus pada efisiensi dagang, melainkan pada administrasi, militer, dan proyeksi keagungan. Pemindahan ini memungkinkan rezim kolonial untuk “meninggalkan” kegagalan ekologis dan sosialnya di utara dan membangun citra baru yang bersih, sehat, rasional, dan kuat di selatan. Ini adalah penegasan ulang dominasi kolonial dalam bentuk yang lebih modern, permanen, dan tak tergoyahkan.   

Nadi Perekonomian Rakyat – Sejarah Pasar-Pasar Legendaris

Sementara pemerintah kolonial sibuk membangun pusat kekuasaan yang megah dan steril di Weltevreden, di sudut-sudut lain kawasan yang sama, denyut nadi kehidupan ekonomi rakyat berdetak kencang. Lahir dari inisiatif swasta, pasar-pasar seperti Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang tumbuh menjadi entitas yang dinamis, melayani kebutuhan masyarakat luas dan bahkan berkembang menjadi ruang budaya yang unik. Sejarah mereka menawarkan sebuah narasi tandingan dari kemegahan kolonial.

Kelahiran dari Inisiatif Swasta

Berbeda dengan proyek-proyek pemerintah yang megah, sejarah Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang dimulai dari inisiatif seorang pengusaha partikelir Belanda bernama Justinus Vinck. Pada tanggal 30 Agustus 1735, Vinck mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patras untuk mendirikan dua pasar di tanah miliknya di selatan Batavia. 

Pasar pertama, yang terletak di kawasan Weltevreden, awalnya dikenal sebagai Vincke Passer (Pasar Vinck). Namun, karena pada awalnya pasar ini hanya diizinkan beroperasi pada hari Senin, masyarakat lokal lebih mengenalnya dengan sebutan Pasar Senen, sebuah nama yang melekat hingga kini. Pasar kedua didirikan di atas tanah berbukit yang dikenal sebagai Tanah Abang. Karena pasar ini awalnya hanya buka pada hari Sabtu, ia pun dikenal sebagai Pasar Sabtu. Kedua pasar ini dengan cepat berkembang dan bahkan mampu menyaingi pasar-pasar yang sudah ada sebelumnya.  

Pasar Senen: Dari Pusat Niaga hingga Pusat Budaya

Meskipun awalnya hanya buka sehari dalam seminggu, Pasar Senen dengan cepat berkembang menjadi pusat niaga yang ramai setiap hari. Lokasinya yang strategis, di persimpangan jalan yang menghubungkan Batavia dengan Meester Cornelis (Jatinegara), membuatnya menjadi titik temu penting. Pasar ini dihuni oleh beragam pedagang, dengan etnis Tionghoa menjadi salah satu kelompok yang dominan. 

Namun, keunikan Pasar Senen tidak hanya terletak pada aktivitas ekonominya. Pada pertengahan abad ke-20, terutama setelah kemerdekaan, kawasan di sekitar pasar yang dikenal sebagai Segitiga Senen menjelma menjadi sebuah episentrum budaya. Tempat ini menjadi lokasi berkumpulnya para seniman, sastrawan, wartawan, dan intelektual muda. Mereka berdiskusi, berkarya, dan mencari inspirasi di tengah hiruk pikuk kehidupan pasar. Dari sinilah muncul nama-nama besar dalam sejarah seni dan sastra Indonesia, seperti penulis Ajip Rosidi, penyair H.B. Jassin, dan sutradara film Wim Umboh. Kelompok ini kemudian dikenal dengan julukan “Seniman Senen,” sebuah bukti bahwa pasar ini telah melampaui fungsi ekonominya dan menjadi rahim bagi lahirnya ekspresi budaya yang otentik. 

Pasar Tanah Abang: Evolusi Menjadi Raksasa Tekstil

Serupa dengan Pasar Senen, Pasar Tanah Abang juga mengalami evolusi yang luar biasa. Dari sebuah pasar sederhana yang menjual tekstil dan barang kelontong setiap hari Sabtu, ia tumbuh menjadi pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara. Wilayahnya yang berbukit sempat dikenal sebagai tempat jual beli kambing, namun potensi komersialnya segera terlihat.  

Pemerintah kolonial Batavia melihat potensi ini dan melakukan renovasi besar-besaran pada tahun 1926, mengubah bangunan pasar yang tadinya sederhana menjadi bangunan permanen dari beton. Setelah kemerdekaan, perkembangannya semakin pesat. Pada tahun 1973, pemerintah DKI Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin meremajakan pasar ini menjadi kompleks bangunan modern berlantai empat. Meskipun beberapa kali dilanda musibah kebakaran hebat, seperti pada tahun 1978, 1979, dan 2003, Pasar Tanah Abang selalu bangkit kembali, bahkan lebih besar dari sebelumnya. Pembangunan blok-blok baru seperti Blok A dan Blok B menampung ribuan pedagang dan melayani pembeli dari seluruh Indonesia dan bahkan mancanegara, mengukuhkan statusnya sebagai jantung industri tekstil dan fashion nasional. 

Keberadaan pasar-pasar ini, yang lahir dari inisiatif swasta dan didorong oleh energi kewirausahaan masyarakat non-Eropa, menawarkan sebuah perspektif yang berbeda tentang kota kolonial. Sementara pemerintah sibuk membangun pusat administrasi yang megah dan eksklusif di Weltevreden untuk kaum Gusti (penguasa), di saat yang sama, ruang-ruang ekonomi untuk Kawula (rakyat) tumbuh secara organik dan dinamis di Pasar Senen dan Tanah Abang.

Ketika para elite Eropa menikmati hiburan di klub-klub eksklusif seperti Societeit de Harmonie yang mempraktikkan politik segregasi ketat , para seniman dan rakyat biasa justru menemukan ruang ekspresi dan interaksi sosial mereka di lingkungan pasar yang lebih egaliter. Pasar-pasar ini secara tidak langsung berfungsi sebagai “ruang ketiga” atau ruang kontra-hegemoni dalam struktur kota kolonial. Mereka menjadi katup pengaman ekonomi dan sosial, tempat di mana energi kreatif dan daya juang masyarakat pribumi dan Tionghoa dapat tersalurkan. Lahirnya fenomena “Seniman Senen” adalah bukti terkuat bahwa kebudayaan yang kritis dan otentik sering kali tidak lahir di ruang-ruang formal yang dikontrol oleh penguasa, melainkan di jantung denyut nadi kehidupan rakyat itu sendiri.  

Wajah Baru Ibu Kota – Transformasi Pasca-Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi titik balik fundamental dalam sejarah Jakarta. Kota yang selama berabad-abad menjadi simbol kekuasaan kolonial kini harus bertransformasi menjadi wajah dan jantung dari sebuah bangsa yang baru merdeka. Era ini ditandai dengan upaya sadar untuk merebut kembali makna dan ruang, menghapus jejak kolonial, dan membangun simbol-simbol baru yang merepresentasikan identitas nasional.

Dari Batavia ke Jakarta: Perebutan Kembali Simbol

Langkah pertama dalam dekolonisasi simbolik ini sebenarnya telah dimulai pada masa pendudukan Jepang. Pada tahun 1942, untuk menarik simpati rakyat Indonesia, pemerintah pendudukan Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta. Pengembalian nama asli pra-kolonial ini memiliki gaung yang kuat dan diterima dengan baik oleh masyarakat.  

Proyek Mercusuar Soekarno: Menulis Ulang Peta Kolonial

Presiden Soekarno, sebagai proklamator dan arsitek utama bangsa, memahami betul kekuatan simbol dalam membangun sebuah negara. Ia melancarkan serangkaian proyek pembangunan fisik berskala monumental di Jakarta, yang sering disebut sebagai “proyek mercusuar”. Tujuannya jelas: menanamkan kebanggaan nasional dan secara visual menghapus atau menandingi warisan arsitektur kolonial yang mendominasi lanskap kota. Pusat kota, yang tadinya merupakan etalase kekuasaan Belanda, kini harus diubah menjadi panggung kebesaran dan kedaulatan bangsa Indonesia. 

Monumen Nasional (Monas): Lingga-Yoni di Jantung Koningsplein

Proyek paling ambisius dan sarat makna dari era ini adalah pembangunan Monumen Nasional (Monas). Ide untuk membangun sebuah monumen peringatan kemerdekaan telah ada sejak awal, namun baru terealisasi di bawah komando langsung Soekarno. Pemancangan tiang pertama dilakukan secara seremonial pada tanggal simbolis, 17 Agustus 1961. 

Lokasi yang dipilih untuk Monas memiliki makna strategis yang luar biasa: tepat di tengah-tengah Koningsplein (Lapangan Raja), lapangan luas yang menjadi jantung pusat pemerintahan kolonial Weltevreden. Ini adalah sebuah tindakan simbolis untuk merebut kembali ruang paling sakral milik penjajah. Desain monumen, yang dikerjakan oleh arsitek Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, sarat dengan filosofi keindonesiaan. Bentuk tugu yang menjulang (Lingga) dan pelataran cawan yang mendatar (Yoni) merupakan interpretasi modern dari simbol kesuburan universal yang lazim dalam budaya Nusantara. Dimensi monumen pun secara cermat menyandikan tanggal Proklamasi Kemerdekaan: tinggi tugu hingga pelataran cawan adalah 17 meter, luas pelataran cawan 45 x 45 meter, dan jarak dari pelataran cawan ke puncak adalah 8 meter, merepresentasikan 17 Agustus 1945. Mahkota monumen berupa lidah api yang dilapisi lembaran emas murni, sumbangan dari pengusaha Aceh Teuku Markam, melambangkan semangat perjuangan bangsa yang tak pernah padam. Pembangunan yang memakan waktu bertahun-tahun ini akhirnya diresmikan dan dibuka untuk umum oleh Presiden Soeharto pada 12 Juli 1975. 

Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral: Arsitektur Toleransi

Simbol nasional lainnya yang dibangun pada era Soekarno adalah Masjid Istiqlal. Ide pembangunan masjid nasional sebagai rasa syukur atas kemerdekaan digagas oleh para tokoh Muslim, termasuk Menteri Agama pertama Wahid Hasyim. Presiden Soekarno sangat mendukung ide ini dan terlibat langsung dalam perencanaannya.  

Seperti halnya Monas, pemilihan lokasi Masjid Istiqlal juga merupakan sebuah keputusan yang penuh makna. Soekarno secara pribadi memilih lokasi di atas bekas benteng Belanda, Taman Wilhelmina, yang terletak persis berseberangan dengan Gereja Katedral yang telah berdiri sejak 1901. Keputusan ini dimaksudkan sebagai simbol abadi dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika, menunjukkan toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang menjadi fondasi bangsa Indonesia. Untuk memperkuat pesan ini, Soekarno menunjuk Frederich Silaban, seorang arsitek beragama Kristen Protestan, sebagai perancang utama masjid setelah memenangkan sayembara desain. Pembangunan dimulai pada 24 Agustus 1961 dan setelah melalui berbagai tantangan, akhirnya diresmikan pada 22 Februari 1978.   

Proyek-proyek monumental Soekarno di Jakarta Pusat ini lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur. Ini adalah sebuah pertunjukan teatrikal berskala kota yang bertujuan untuk “menaklukkan” ruang kolonial secara simbolis dan psikologis. Soekarno tidak menghancurkan semua bangunan peninggalan Belanda. Sebaliknya, ia membangun di atas, di depan, dan di seberang simbol-simbol kolonial tersebut. Istana Gambir yang menjadi pusat kekuasaan Gubernur Jenderal diubah namanya menjadi Istana Merdeka.  

Koningsplein yang didedikasikan untuk raja Belanda diubah menjadi Medan Merdeka dengan Monas sebagai pusatnya. Dan di seberang Katedral yang megah, dibangun Masjid Istiqlal yang tak kalah megahnya.  

Dalam semiotika urban, ini adalah tindakan penegasan dominasi simbolis. Dengan menempatkan Monas—sebuah simbol pribumi (Lingga-Yoni) dan nasionalis (17-8-45)—tepat di tengah lapangan yang sebelumnya menjadi milik penguasa kolonial, Soekarno secara visual mendeklarasikan bahwa kekuasaan telah berpindah tangan. Bangsa Indonesia kini menjadi “matahari” baru di pusat tata surya ibu kota. Ini adalah sebuah “perang” narasi yang dilakukan melalui arsitektur. Jika Daendels membangun Weltevreden untuk memproyeksikan kekuatan imperial Belanda, Soekarno membangun Monas dan Istiqlal untuk memproyeksikan ideologi Pancasila dan kebesaran bangsa Indonesia yang merdeka. Setiap warga negara yang memandang Monas menjulang tinggi di atas bekas lapangan sang raja akan menerima pesan psikologis yang kuat tentang siapa yang kini berdaulat di negeri ini.

Tabel 2: Pembangunan Ikon Arsitektur di Jakarta Pusat (Era Kolonial dan Kemerdekaan)

Bangunan Era Arsitek/Inisiator Gaya Arsitektur Signifikansi
Kastel Batavia VOC (1619+) J.P. Coen Benteng Belanda Simbol kekuasaan militer dan komersial VOC di Asia.   
Istana Rijswijk (Istana Negara) Hindia Belanda (1796) J.A. van Braam Indische Empire Menjadi kediaman resmi dan pusat kegiatan Gubernur Jenderal.
Istana Gambir (Istana Merdeka) Hindia Belanda (1873) J.B. Drossaers Neoklasik / Palladian Istana baru yang lebih megah dan representatif, menghadap Koningsplein. 
Schouwburg Weltevreden (Gedung Kesenian Jakarta) Hindia Belanda (1814) Empire Pusat kebudayaan dan hiburan bagi masyarakat elite Eropa di Weltevreden. 
Bataviasche Kunstkring (Gedung Boplo) Hindia Belanda (1911) P.A.J. Moojen Modern Awal / Art Nouveau Pusat budaya dan kantor arsitek pengembang kawasan elite Menteng. 
Monumen Nasional (Monas) Kemerdekaan (1961-1975) Soekarno, F. Silaban, R.M. Soedarsono Simbolisme Nasional Simbol kebanggaan nasional yang menimpa pusat kekuasaan kolonial. 
Masjid Istiqlal Kemerdekaan (1961-1978) Soekarno, F. Silaban Modern Internasional Masjid nasional terbesar, simbol toleransi beragama dan rasa syukur atas kemerdekaan.  

Kesimpulan: Lapisan-Lapisan Makna di Jantung Jakarta

Perjalanan sejarah Jakarta Pusat adalah sebuah epik tentang transformasi, konflik, dan sintesis. Dari pelabuhan niaga yang kosmopolitan, menjadi benteng kolonial yang terisolasi, lalu pusat pemerintahan imperial yang megah, hingga akhirnya menjadi panggung utama di mana sebuah bangsa modern mendefinisikan dirinya. Setiap era—Sunda, Banten, VOC, Hindia Belanda, dan Republik Indonesia—telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada lanskap fisik, sosial, dan psikologis kawasan ini, menjadikannya sebuah palimpsest sejarah yang kaya dan berlapis.

Narasi ini menunjukkan bagaimana ruang tidak pernah netral. Sunda Kelapa adalah ruang ekonomi yang pragmatis. Jayakarta adalah monumen kemenangan ideologis. Batavia adalah proyek rekayasa sosial dan lingkungan yang ambisius namun penuh kontradiksi. Weltevreden adalah etalase kekuasaan imperial yang tertata rapi. Dan Jakarta pasca-kemerdekaan adalah kanvas bagi penulisan ulang identitas nasional. Istana Merdeka berdiri di atas fondasi kekuasaan kolonial, Monas menjulang menantang warisan imperial, dan pasar-pasar rakyat seperti Senen dan Tanah Abang terus berdenyut dengan energi organik yang menjadi penyeimbang dari pusat-pusat kekuasaan formal.

Dialog antara masa lalu dan masa kini terus berlangsung di Jakarta Pusat. Upaya pelestarian bangunan cagar budaya di Menteng dan Kota Tua berhadapan dengan tuntutan modernisasi yang diwujudkan dalam pembangunan MRT, pusat perbelanjaan, dan gedung-gedung pencakar langit. Ini adalah babak terbaru dari negosiasi panjang antara tradisi dan kemajuan, antara memori dan aspirasi, yang telah membentuk Jakarta selama berabad-abad.

Kini, seiring dengan pergeseran status ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Jakarta Pusat berada di ambang sebuah transformasi baru. Ia akan berevolusi dari pusat politik nasional menjadi sebuah kota global, pusat bisnis, dan budaya. Memahami secara mendalam lapisan-lapisan sejarah yang telah membentuknya—dari aliansi dagang di muara Ciliwung hingga perang simbol melalui arsitektur di Medan Merdeka—adalah kunci untuk menavigasi masa depan. Sejarah panjang ini bukan sekadar kenangan, melainkan fondasi di atas mana identitas baru Jakarta sebagai kota global akan dibangun, sebuah jantung bangsa yang akan terus berdenyut dengan ritme sejarahnya yang unik dan kompleks.

Daftar Pustaka

Sejarah Umum & Perubahan Nama

  • Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Pemprov DKI Jakarta. “Sejarah Jakarta”. jakarta.go.id. Diakses 5 Juli 2025.
  • Detik.com. “Tak Lagi Berstatus Ibu Kota Negara, Begini Sejarah Perubahan Nama Jakarta”. DetikEdu, 15 April 2024.
  • Prayitno, Panji. “Sejarah Panjang Pelabuhan Sunda Kelapa Hingga Simbol Kejayaan Maritim Indonesia”. Liputan6.com, 11 Desember 2024.
  • Wikipedia. “Batavia”. Diakses 5 Juli 2025.

Era Sunda Kelapa dan Jayakarta (Pra-Kolonial)

  • Aryawardhana. “Jakarta, Sunda Kelapa, dan Sejarah Jakarta”. aryawardhana.id, 20 November 2021.
  • Indonesia Kaya. “Sunda Kelapa, Pelabuhan Tua yang Menyimpan Sejarah Jakarta”. indonesiakaya.com. Diakses 5 Juli 2025.
  • Pires, Tomé (dirujuk dalam berbagai sumber sekunder). Suma Oriental.
  • Wikipedia. “Kerajaan Sunda”. Diakses 5 Juli 2025.
  • Wikipedia. “Sunda Kelapa”. Diakses 5 Juli 2025.

Era VOC dan Pembangunan Batavia

  • Koransulindo. “Jejak Kekuasaan VOC: Bagaimana Jayakarta Diubah Menjadi Batavia”. koransulindo.com, 30 Mei 2025.
  • National Geographic Indonesia. “Kisah Sejarah dari Balik Kanal-kanal yang Mengaliri Kota Batavia”. nationalgeographic.grid.id, 29 Mei 2022.
  • UNESCO World Heritage Centre. “The Old Town of Jakarta (Formerly old Batavia) and 4 Outlying Islands”. whc.unesco.org. Diakses 5 Juli 2025.
  • Universitas Indonesia. “Studi Tentang Proses Transformasi Kota Batavia”. lib.ui.ac.id. Diakses 5 Juli 2025.

Era Hindia Belanda: Weltevreden dan Menteng

  • Adolf Heuken, S.J. (dirujuk dalam berbagai sumber sekunder). Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia.
  • Gunawan, dkk. “Pola Tata Ruang Weltevreden dan Fungsi Ruang Kota”. Jurnal Panalungtik, Vol. 3, No. 1, Juli 2020. (via ResearchGate).
  • Historia.id. “Tur di Kawasan Menteng”. historia.id, 22 April 2024.
  • Indonesiana. “Weltevreden: Sejarah, Keindahan, dan Pengaruhnya di Batavia”. indonesiana.id, 14 November 2024.
  • Kompasiana. “Karena Wabah Penyakit di Batavia, Pusat Pemerintahan Pindah ke Weltevreden”. kompasiana.com, 22 Oktober 2020.
  • Netralnews. “Sejarah Weltevreden, Pusat Kota Jakarta di Zaman Hindia Belanda”. netralnews.com, 24 Juni 2022.
  • Pakubuwono Menteng. “Menteng sebagai kota taman pertama di Indonesia”. pakubuwonomenteng.com, 24 Juni 2022.
  • Raywhite.co.id. “Sejarah Panjang Menteng, Dari Tempat Binatang Buas Menjelma Jadi Kawasan Elit”. menteng.raywhite.co.id, 14 Februari 2025.
  • Warta Kota. “Saat Pejabat Batavia Pindah ke Weltevreden, Bangunan Putih Bermunculan di Sekitar Lapangan Banteng”. wartakota.tribunnews.com, 8 November 2019.

Perekonomian Rakyat: Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang

  • Intisari Online. “Sejarah Pasar Senen, Berawal ketika Orang-orang Kaya VOC Pindah ke ‘Selatan'”. intisari.grid.id, 18 November 2024.
  • Laras Tri Syukriyah. “SEJARAH PASAR TANAH ABANG SEBAGAI PUSAT GROSIR TERBESAR DI INDONESIA”. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2019. (via repository.uhamka.ac.id).
  • Seni Budaya Betawi. “Sejarah dan Perkembangan Pasar Senen Tempo Dulu”. senibudayabetawi.com, 22 Mei 2023.
  • Sindonews. “Asal Usul Pasar Senen, Dulunya Bernama Vincke Passer dan Buka Hanya Hari Senin”. daerah.sindonews.com, 6 Februari 2022.
  • Wikipedia. “Pasar Tanah Abang”. Diakses 5 Juli 2025.
  • Wikipedia. “Pasar Senen”. Diakses 5 Juli 2025.

Era Kemerdekaan: Monumen dan Transformasi

  • Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Mengenal Arsitek Monas, Dipilih Langsung oleh Presiden Soekarno”. kemenparekraf.go.id, 25 November 2024.
  • Kementerian Sekretariat Negara RI. “Istana Negara”. setneg.go.id. Diakses 5 Juli 2025.
  • Kementerian Sekretariat Negara RI. “Istana Merdeka”. setneg.go.id. Diakses 5 Juli 2025.
  • Kompas.id. “Sejarah Monumen Nasional (Monas): Perencanaan, Pembangunan, Hingga Polemik Pengelolaan”. kompas.id, 17 Juli 2021.
  • Kompaspedia. “Kronologi Sejarah Masjid Istiqlal: Cita-Cita untuk 1000 Tahun”. kompaspedia.kompas.id. Diakses 5 Juli 2025.
  • Tempo.co. “Menelaah Sejarah Masjid Istiqlal yang Berdampingan dengan Gereja Katedral”. tempo.co, 5 Juli 2023.
  • Wikipedia. “Monumen Nasional”. Diakses 5 Juli 2025.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest