Bagi sebagian besar penduduk ibu kota, Kepulauan Seribu adalah kanvas biru tempat melarikan diri dari hiruk pikuk Jakarta. Gambaran tentang pantai pasir putih, air laut yang jernih, dan deretan resor menjadi citra dominan yang melekat pada gugusan pulau ini. Namun, di balik fasad destinasi wisata akhir pekan yang menenangkan, tersimpan seribu riwayat yang jauh lebih kompleks, berlapis, dan sering kali kelam. Sejarah Kepulauan Seribu bukanlah sekadar catatan pinggir dari sejarah besar Batavia, melainkan panggung utama di mana perebutan kekuasaan, denyut nadi ekonomi kolonial, hingga tragedi kemanusiaan pernah dipentaskan.
Nama “Kepulauan Seribu” sendiri adalah sebuah kiasan puitis, bukan representasi harfiah. Data pemerintah mencatat adanya 342 pulau, termasuk gosong pasir dan terumbu karang, di mana sekitar 110 hingga 113 di antaranya merupakan pulau yang lebih permanen.1 Dari jumlah tersebut, hanya sebelas pulau yang dihuni secara tetap oleh komunitas masyarakat.1 Kesenjangan antara nama dan kenyataan ini seolah menjadi metafora bagi sejarah kepulauan itu sendiri: sebuah narasi yang sering kali disederhanakan, padahal menyimpan kedalaman yang tak terduga.
Secara administratif, Kepulauan Seribu adalah bagian tak terpisahkan dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Keterikatan ini bukanlah produk kebijakan modern semata. Jauh sebelum menjadi tujuan wisata, gugusan pulau ini secara historis selalu dipandang sebagai gerbang strategis menuju pelabuhan utama di Teluk Jakarta.4 Statusnya berevolusi seiring waktu; dari sebuah kecamatan di bawah Kota Administrasi Jakarta Utara, statusnya ditingkatkan menjadi Kabupaten Administrasi pada tanggal 3 Juli 2001 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001.1 Peningkatan status ini merupakan pengakuan formal atas peran unik dan tantangan spesifik yang dihadapi wilayah kepulauan ini, sebuah langkah untuk meningkatkan pelayanan dan mengendalikan fungsi kawasan yang vital.8
Artikel ini akan menyingkap lapisan-lapisan sejarah tersebut, melampaui citra pariwisata untuk mengungkap peran Kepulauan Seribu sebagai benteng pertahanan pertama, tembok karantina, sel penjara terpencil, dan kini, sebagai garda terdepan pertarungan ekonomi dan lingkungan bagi Jakarta. Sejarahnya adalah sejarah Jakarta itu sendiri, dilihat dari cakrawala laut.
Jejak Kerajaan dan Perebutan Pengaruh (Abad ke-14 hingga ke-16)
Jauh sebelum bendera Eropa berkibar di Nusantara, Kepulauan Seribu telah menjadi arena geopolitik yang krusial. Posisinya yang strategis di mulut Teluk Jakarta menjadikannya aset maritim yang diperebutkan oleh kerajaan-kerajaan besar. Gugusan pulau ini bukanlah wilayah perairan yang sepi, melainkan koridor sibuk yang menjadi kunci untuk mengendalikan akses ke salah satu pelabuhan terpenting di Jawa. Siapa pun yang menguasai pulau-pulau ini, secara efektif memegang kendali atas urat nadi perdagangan dan pertahanan di kawasan tersebut.
Menurut catatan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, tensi perebutan pengaruh di perairan sekitar pelabuhan Kalapa (nama lama Sunda Kelapa) sudah terasa sejak abad ke-9. Tiga kekuatan besar pada masa itu—Kerajaan Sriwijaya dari Palembang, Kerajaan Kediri dari Jawa, dan Kerajaan Sundapura sebagai penerus Tarumanegara—bersaing untuk mendominasi jalur laut tersebut.10 Fakta bahwa kepulauan ini menjadi objek sengketa sejak era begitu awal menunjukkan nilai strategisnya yang abadi.
Memasuki abad ke-14, setelah pamor Sundapura meredup, pengelolaan pelabuhan Kalapa beserta perairan di sekitarnya berada di bawah kendali Kerajaan Tanjung Kalapa/Jaya, sebuah kerajaan bawahan dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Jawa Barat.10 Ini menegaskan adanya klaim teritorial dan struktur administrasi yang jelas atas kepulauan tersebut sebelum kedatangan bangsa Eropa. Kepulauan Seribu pada masa ini berfungsi sebagai zona penyangga dan pos terdepan yang melindungi pelabuhan utama kerajaan.
Babak baru dalam sejarah kepulauan ini dimulai pada awal abad ke-16, ketika lanskap politik Nusantara mulai bergeser dengan menguatnya kesultanan-kesultanan Islam. Merasa terancam oleh kekuatan Kesultanan Banten dan Demak yang kian ekspansif, Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu mengambil langkah strategis dengan menjalin aliansi dengan Portugis, kekuatan Eropa yang saat itu telah menguasai Selat Malaka.10 Pada 21 Agustus 1522, sebuah perjanjian monumental ditandatangani. Perjanjian ini tidak hanya mencakup kerja sama dagang, tetapi juga aspek militer yang secara eksplisit menyebutkan pengamanan perairan Kepulauan Seribu, yang dianggap sebagai titik rawan dan pintu masuk bagi serangan musuh ke pelabuhan Kalapa.10 Peristiwa ini menandai masuknya Kepulauan Seribu ke dalam panggung percaturan politik kolonial global.
Namun, aliansi dengan kekuatan asing ini justru menjadi pemicu konflik yang lebih besar. Merasa terprovokasi, gabungan armada laut dari Kesultanan Demak dan Banten melancarkan serangan besar-besaran pada tahun 1527. Mereka memilih rute yang paling strategis: melalui perairan Kepulauan Seribu untuk menyerbu dan menaklukkan Sunda Kelapa.10 Setelah penaklukan yang berhasil, nama pelabuhan diubah menjadi Jayakarta.
Kemenangan ini tidak serta-merta membawa kedamaian di perairan tersebut. Sebaliknya, konflik baru segera muncul antara dua kekuatan yang tadinya bersekutu. Kesultanan Banten dan penguasa baru Jayakarta (di bawah pengaruh Demak) mulai berselisih mengenai hak atas Kepulauan Seribu.10 Sengketa ini terutama dipicu oleh potensi pendapatan yang besar dari kapal-kapal asing yang sering berlabuh di pulau-pulau tersebut untuk perbaikan atau menunggu cuaca baik.10 Perselisihan yang tak kunjung usai ini menciptakan kevakuman kekuasaan dan kelemahan internal, sebuah celah yang pada akhirnya akan dimanfaatkan dengan sangat cerdik oleh kekuatan baru yang datang dari Eropa: Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sejarah perebutan pengaruh ini menunjukkan bahwa Kepulauan Seribu adalah barometer kekuatan maritim di Laut Jawa; penguasaannya menjadi cerminan langsung dari pasang surut kekuatan regional, sebuah pola yang akan diwarisi dan diperkuat oleh Belanda.
Onrust, Pulau Tanpa Henti: Jantung Nadi VOC
Kisah Pulau Onrust adalah sebuah epik mini yang merefleksikan seluruh siklus hidup Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Dari cara akuisisinya yang licik, puncaknya sebagai pusat industri dan militer, hingga kehancuran dan keruntuhannya, nasib pulau kecil ini berjalan paralel dengan takdir perusahaan dagang terbesar di dunia pada masanya.
VOC, dengan ketajaman strategisnya, segera mengidentifikasi nilai tak ternilai dari gugusan pulau di depan Jayakarta, terutama Pulau Onrust. Pada tahun 1610, mereka mendekati Kesultanan Banten, pemilik sah pulau itu, dengan permintaan yang terdengar sederhana: izin untuk menebang kayu guna perbaikan kapal.11 Namun, setelah mendapatkan pijakan, VOC menolak untuk mengembalikan pulau itu. Langkah ini adalah cerminan sempurna dari strategi ekspansi VOC di seluruh Nusantara—penetrasi bertahap yang diikuti dengan aneksasi.
Puncak dari strategi ini terjadi di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Pada tahun 1619, ia menjadikan Onrust sebagai pangkalan militer terdepan untuk melancarkan serangan pamungkas terhadap Jayakarta. Coen secara diam-diam membangun sebuah benteng pertahanan di pulau tersebut, yang memungkinkannya untuk mengonsolidasikan armada dan logistik tepat di ambang pintu musuh.10 Dari Onrust-lah, serangan yang menghancurkan Jayakarta dan melahirkan Batavia pada tahun 1620 dilancarkan. Nama pulau itu, “Onrust,” yang dalam bahasa Belanda berarti “Tanpa Henti” atau “Resah” (Unrest), menjadi gambaran yang akurat akan aktivitasnya yang tak pernah berhenti sebagai jantung industri dan militer VOC.13
Di bawah kendali VOC, Onrust bertransformasi menjadi fasilitas galangan kapal kelas dunia yang kemasyhurannya terdengar di seluruh Asia. Pulau ini dilengkapi dengan peralatan canggih, termasuk kincir angin untuk menggerakkan mesin gergaji, serta bengkel dan gudang yang mampu membangun dan memperbaiki kapal-kapal raksasa VOC.12 Ketika penjelajah Inggris Kapten James Cook singgah pada tahun 1770, ia mencatat dalam jurnalnya tentang kehebatan fasilitas di pulau itu.13 Onrust adalah mesin logistik yang menjaga roda imperium maritim VOC tetap berputar.
Untuk melindungi aset vital ini, VOC membentengi Onrust secara masif. Pembangunan dimulai pada tahun 1656 dengan sebuah benteng berbentuk segi lima yang terbuat dari batu bata dan karang, lengkap dengan bastion di setiap sudutnya.11 Penelitian arkeologi modern, termasuk ekskavasi yang dilakukan pada November 2023, tidak hanya mengonfirmasi keberadaan benteng ini tetapi juga menemukan sisa-sisa fondasi benteng kedua yang lebih besar, yang pembangunannya dimulai sekitar tahun 1671. Benteng raksasa ini, seperti digambarkan dalam peta tahun 1744, juga berbentuk segi lima dan mencakup dua pertiga luas pulau.12 Pada akhir abad ke-17, pulau ini dijaga oleh ratusan serdadu kompeni dan budak, menjadikannya salah satu titik paling terfortifikasi di Hindia Belanda.11
Masa keemasan Onrust berakhir secara dramatis pada tahun 1800. Inggris, sebagai rival utama Belanda, melakukan blokade terhadap Batavia dan menghancurkan hampir seluruh bangunan di permukaan Onrust hingga rata dengan tanah.11 Meskipun Belanda kemudian mencoba membangunnya kembali, pulau itu tidak pernah lagi mencapai kemegahan lamanya. Pukulan terakhir datang pada tahun 1883 dengan dibangunnya Pelabuhan Tanjung Priok yang modern, yang membuat fasilitas di Onrust menjadi usang dan tidak relevan.11
Hari ini, yang tersisa dari kejayaan masa lalu hanyalah puing-puing reruntuhan, artefak yang tersimpan di museum sederhana, dan fondasi benteng yang digali oleh para arkeolog.11 Banyak peninggalan berharga hilang akibat penjarahan besar-besaran oleh penduduk pada dekade 1960-an, sebuah periode kekosongan pengawasan yang menghapus sebagian bukti fisik dari sejarah panjang pulau ini.12 Kehancuran Onrust oleh kekuatan eksternal dan keusangannya seiring waktu mencerminkan nasib VOC itu sendiri, yang akhirnya bangkrut dan dibubarkan pada tahun 1799, dikalahkan oleh zaman dan rival-rival barunya.
Pulau-Pulau Pengasingan dan Kontrol
Seiring memudarnya peran strategis Kepulauan Seribu sebagai benteng pertahanan dan pusat industri maritim, fungsinya bertransformasi. Gugusan pulau ini, dengan isolasi geografisnya yang alami, menjadi alat yang ideal bagi pemerintah kolonial untuk menjalankan kebijakan kontrol sosial. Pulau-pulau yang tadinya menjadi simbol kekuatan ekonomi dan militer VOC, kini beralih fungsi menjadi ruang pengasingan untuk mengelola ancaman, baik yang bersifat biologis, ideologis, maupun politis.
Gerbang Suci yang Terkunci: Karantina Haji di Onrust dan Cipir (1911-1933)
Pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda menerapkan sebuah kebijakan yang secara fundamental mengubah fungsi Pulau Onrust dan pulau-pulau di sekitarnya. Kebijakan ini adalah karantina haji, sebuah sistem yang dirancang dengan dalih kesehatan publik namun sarat dengan agenda kontrol politik dan eksploitasi ekonomi. Sistem ini adalah contoh klasik bagaimana kebijakan kesehatan dapat dipersenjatai untuk melayani kepentingan kolonial.
Secara resmi, dasar dari kebijakan ini adalah Quarantine Ordonnantie (Ordonansi Karantina) yang dikeluarkan pada tahun 1911, bertujuan untuk mencegah masuknya wabah penyakit menular seperti kolera dan pes yang sering terbawa oleh para jemaah haji setelah menempuh perjalanan laut yang panjang dan padat dari Mekah.17 Tiga lokasi utama ditetapkan sebagai pusat karantina: Pulau Rubiah di Sabang untuk jemaah dari Sumatra, serta Pulau Onrust dan Pulau Cipir (dulu disebut Pulau Kuyper) untuk jemaah dari Jawa dan wilayah lainnya.17
Untuk menunjang fungsi barunya, Pulau Onrust dilengkapi dengan 35 bangunan barak yang mampu menampung hingga 3.500 orang sekaligus.14 Prosedurnya berjalan sistematis. Setibanya di perairan Batavia, kapal jemaah haji akan diarahkan ke Pulau Cipir terlebih dahulu. Di sana, para jemaah menjalani pemeriksaan kesehatan awal. Mereka yang terdeteksi sakit akan diisolasi dan dirawat di fasilitas yang ada di Pulau Cipir, terpisah dari kelompok yang sehat agar tidak terjadi penularan.18 Sementara itu, jemaah yang dinyatakan sehat akan dipindahkan ke Pulau Onrust untuk menjalani masa karantina selama kurang lebih lima hari sebelum diizinkan kembali ke daerah asal mereka.14 Selama proses ini, pakaian pribadi para jemaah dan kapal yang mereka tumpangi akan difumigasi untuk sterilisasi.19
Namun, di balik logika kesehatan publik ini, tersembunyi agenda lain. Pemerintah kolonial, yang dipengaruhi oleh pandangan para penasihatnya seperti Christiaan Snouck Hurgronje, memandang para haji yang kembali dari Tanah Suci dengan penuh kecurigaan. Mereka dianggap sebagai agen potensial penyebar gagasan Pan-Islamisme dan sentimen anti-kolonial yang dapat mengancam stabilitas kekuasaan Belanda.20 Dengan demikian, karantina menjadi alat yang sangat efektif untuk mengisolasi, mengawasi, dan mengontrol kelompok masyarakat yang dianggap paling berpengaruh secara ideologis ini.
Lebih jauh lagi, sistem ini juga mengandung unsur eksploitasi yang kejam. Sebuah laporan dari masa itu mengungkap bahwa para jemaah yang jatuh sakit dan dirawat, namun tidak mampu membayar biaya pengobatan, dipaksa untuk bekerja sebagai gantinya.17 Mereka yang datang untuk menunaikan rukun Islam kelima justru berakhir menjadi tenaga kerja paksa di tanah airnya sendiri. Praktik ini menelanjangi wajah asli dari kebijakan yang diklaim bertujuan mulia tersebut.
Era karantina haji di Kepulauan Seribu berakhir pada tahun 1933.14 Fungsi pulau-pulau ini akan segera beralih ke bentuk pengasingan yang lebih terang-terangan: penjara politik. Namun, sisa-sisa bangunan barak, fondasi rumah sakit, dan dermaga di Pulau Onrust dan Cipir hingga kini masih berdiri sebagai saksi bisu dari episode getir dalam perjalanan haji umat Islam Indonesia.22
Tabel 1: Evolusi Fungsi Pulau Onrust dan Pulau-Pulau Sekitarnya (Abad ke-16 – 1972)
Periode | Pulau Onrust | Pulau Cipir (Kuyper) | Pulau Kelor |
Abad ke-16 | Tempat peristirahatan keluarga Kesultanan Banten 11 | Bagian dari wilayah Kesultanan Banten | Bagian dari wilayah Kesultanan Banten |
1610 – 1800 | Pusat galangan kapal, benteng pertahanan, dan gudang rempah-rempah VOC 11 | Pulau pendukung Onrust, terdapat rumah sakit (sejak 1679) 24 | Pulau pendukung Onrust |
1800 – 1816 | Dihancurkan dan diduduki oleh Inggris 11 | Dihancurkan dan diduduki oleh Inggris | Dihancurkan dan diduduki oleh Inggris |
1828 – 1910 | Dibangun kembali, namun fungsinya menurun setelah Pelabuhan Tanjung Priok dibuka 11 | Dibangun kembali sebagai pendukung Onrust | Dibangun kembali sebagai pendukung Onrust |
1911 – 1933 | Pusat karantina utama bagi jemaah haji yang sehat 14 | Tempat pemeriksaan awal dan perawatan jemaah haji yang sakit 18 | Tempat pemakaman bagi jemaah haji yang meninggal 14 |
1933 – 1942 | Penjara politik untuk pemberontak (Pemberontakan Kapal Tujuh) dan tahanan Jerman 11 | Fasilitas pendukung penjara | Tempat pemakaman tahanan politik 24 |
1942 – 1945 | Penjara untuk tahanan kelas berat dan politik di bawah pendudukan Jepang 11 | Fasilitas pendukung penjara | – |
1945 – 1946 | Kamp tawanan perang untuk orang Jerman di bawah Sekutu 13 | – | – |
1950 – 1965 | Tempat perawatan penderita penyakit menular, penampungan gelandangan, dan lokasi eksekusi Kartosoewirjo (mitos) 11 | – | – |
1968 – 1972 | Terbengkalai, terjadi penjarahan material bangunan 12 | Terbengkalai | Terbengkalai |
1972 | Ditetapkan sebagai pulau bersejarah dan cagar budaya oleh Gubernur Ali Sadikin 11 | Ditetapkan sebagai cagar budaya | Ditetapkan sebagai cagar budaya |
Penjara di Tengah Laut: Dari Pemberontak hingga Tahanan Politik (1933-1945)
Setelah era karantina haji berakhir, Kepulauan Seribu memasuki babak paling kelam dalam sejarahnya. Isolasi yang tadinya digunakan untuk membendung penyakit kini dimanfaatkan sepenuhnya untuk membungkam perlawanan politik. Pulau Onrust, secara khusus, bertransformasi menjadi sebuah penjara dengan keamanan maksimum, “Alcatraz”-nya Batavia, tempat para musuh negara kolonial diasingkan dan dilenyapkan dari peredaran.
Gelombang pertama tahanan politik yang mengisi sel-sel di Onrust adalah para kelasi yang terlibat dalam pemberontakan di kapal perang Belanda, Hr.Ms. De Zeven Provinciën, pada awal tahun 1933.11 Pemberontakan ini, yang dipicu oleh pemotongan gaji dan perlakuan diskriminatif, dianggap sebagai aib besar bagi Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Para pemberontak yang tertangkap dikirim ke Onrust untuk diinterogasi dan dipenjara, menandai secara resmi peralihan fungsi pulau tersebut menjadi sebuah lembaga pemasyarakatan politik.
Ketika Perang Dunia II meletus di Eropa, fungsi penal Onrust meluas. Setelah Jerman menginvasi Belanda pada Mei 1940, pemerintah kolonial di Hindia Belanda dengan sigap melakukan penangkapan massal terhadap ribuan warga sipil Jerman yang tinggal di wilayah jajahannya. Mereka yang dianggap sebagai musuh, termasuk warga Hongaria, Ceko, dan bahkan warga Belanda yang pro-Nazi, diinternir di berbagai kamp, dengan Onrust menjadi salah satu kamp penahanan utama.13 Seniman terkenal Walter Spies dan serdadu KNIL keturunan Jerman adalah di antara mereka yang pernah merasakan dinginnya sel di pulau ini sebelum dipindahkan ke lokasi lain.28
Kondisi di penjara Onrust mencapai tingkat kebrutalan tertinggi selama masa pendudukan Jepang (1942-1945). Jepang mengambil alih fasilitas tersebut dan menggunakannya untuk memenjarakan tahanan kelas berat dan lawan-lawan politik mereka.11 Kesaksian dari seorang tahanan Belanda bernama Boshart, yang selamat dari peristiwa
De Zeven Provinciën dan kembali ditahan di Onrust, melukiskan gambaran yang mengerikan. Ia menggambarkan barak-barak penjara yang sesak dengan langit-langit setinggi hanya 1,5 meter, beratapkan seng panas, dan dikelilingi kawat berduri. Peraturan yang diterapkan sangat sadis: tahanan yang terlihat berjalan di ruang terbuka bisa ditembak di tempat tanpa peringatan, dan jika barak dianggap terlalu ribut atau terdengar tawa, sebuah granat tangan akan dilemparkan ke dalamnya.30
Puncak kekejaman terjadi dengan diterapkannya “sistem gladiator”. Karena jumlah tahanan yang terus membludak, penjaga Jepang sengaja mengadu para tahanan satu sama lain hingga mati. Pertarungan maut ini dilangsungkan di dalam sebuah lubang silinder berdiameter sekitar 2 meter yang berada di dalam gedung penjara.30 Praktik pembunuhan yang terinstitusionalisasi ini menjadi noda paling hitam dalam sejarah panjang penderitaan di Pulau Onrust.
Setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, pulau ini sempat digunakan sekali lagi oleh pasukan Sekutu yang datang untuk menahan tawanan perang Jerman, termasuk awak kapal selam U-195, dari September 1945 hingga Januari 1946.13 Periode singkat ini menjadi penutup dari fungsi Onrust sebagai penjara di masa perang, mewariskan sebuah reputasi sebagai pulau yang penuh dengan kisah horor dan penderitaan.
Eksekusi di Pulau Ubi: Meluruskan Sejarah Akhir Hayat Kartosoewirjo (1962)
Selama setengah abad, sejarah resmi dan memori kolektif bangsa Indonesia diselimuti oleh sebuah mitos yang kuat: bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, proklamator Negara Islam Indonesia (NII) dan pemimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Onrust pada tahun 1962.13 Mitos ini begitu mengakar sehingga sebuah makam di Onrust sering diziarahi karena diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir sang imam.33 Namun, sebuah penemuan arsip fotografi yang luar biasa pada akhirnya membongkar kebohongan sejarah yang telah dijaga rapat oleh negara selama 50 tahun.
Kebenaran terungkap melalui publikasi 81 foto langka oleh sejarawan Fadli Zon dalam bukunya, Hari Terakhir Kartosoewirjo.34 Foto-foto ini, yang kemungkinan besar diambil oleh seorang fotografer militer yang ditugaskan secara resmi, mendokumentasikan secara detail dan tanpa sensor seluruh proses eksekusi mati Kartosoewirjo. Bukti visual ini secara definitif meluruskan narasi sejarah yang salah.
Fakta yang terpapar dari foto-foto tersebut sangat jelas: lokasi eksekusi dan pemakaman Kartosoewirjo bukanlah di Pulau Onrust yang terkenal, melainkan di Pulau Ubi, sebuah pulau kecil yang lebih terpencil di gugusan Kepulauan Seribu.35 Eksekusi dilaksanakan pada tanggal 5 September 1962, setelah Kartosoewirjo ditangkap di Garut pada 4 Juni 1962 dan Mahkamah Militer menjatuhkan vonis mati.36
Rangkaian foto tersebut menyajikan kronologi yang dingin dan mencekam dari jam-jam terakhir kehidupan Kartosoewirjo. Dimulai dengan momen perpisahan saat makan siang terakhir bersama keluarganya, di mana ia hanya merokok dan tidak menyentuh makanan.34 Kemudian, perjalanan dengan kapal perang Angkatan Laut menuju Pulau Ubi, di mana ia menjalani pemeriksaan kesehatan terakhir dan berganti pakaian serba putih.34
Setibanya di Pulau Ubi, dengan mata sudah ditutup kain putih, Kartosoewirjo dipapah menuju tiang eksekusi. Tangannya diikat ke belakang, dan seorang rohaniwan dari militer mendampinginya untuk berdoa.34 Regu tembak yang terdiri dari 12 prajurit dari Kodam Jaya telah bersiap. Dalam hitungan detik setelah komando diberikan, lima butir peluru menembus dada kirinya. Untuk memastikan kematiannya, komandan regu tembak maju dan melepaskan satu tembakan terakhir dari pistolnya.34
Prosesi selanjutnya dilakukan sesuai syariat Islam, namun dengan cara yang sangat darurat. Jenazahnya dimandikan dengan air laut, dikafani, dan disalatkan oleh beberapa orang anggota TNI.34 Jasadnya kemudian dikebumikan di pulau itu juga, di sebuah liang lahat tanpa nisan di bawah sebatang pohon. Untuk menghilangkan jejak, tiang eksekusi dan peralatan lainnya dibakar habis oleh tim sebelum mereka meninggalkan Pulau Ubi.34
Episode ini lebih dari sekadar koreksi fakta sejarah. Ia adalah sebuah studi kasus yang gamblang tentang bagaimana negara dapat secara sadar mengontrol dan memanipulasi narasi sejarah untuk tujuan politik. Pemilihan lokasi yang terpencil dan penyebaran informasi yang keliru tentang Pulau Onrust kemungkinan besar merupakan strategi yang disengaja untuk mencegah makam Kartosoewirjo menjadi situs ziarah atau simbol perlawanan bagi para pengikutnya. Selama 50 tahun, negara berhasil mengendalikan memori publik hingga bukti primer yang tak terbantahkan—foto-foto tersebut—muncul dan memaksa sejarah untuk ditulis ulang. Ini adalah pengingat kuat akan pentingnya arsip dan penelitian independen dalam menguji kebenaran narasi resmi.
Wajah Manusia dan Denyut Kehidupan
Di luar narasi besar tentang kerajaan, kompeni, dan negara, Kepulauan Seribu adalah rumah bagi sebuah komunitas dengan denyut kehidupan dan identitas yang unik. Jauh dari pusat kekuasaan di daratan, masyarakatnya telah merajut sebuah tatanan sosial, budaya, dan bahasa yang khas, yang lahir dari perpaduan beragam suku dan dibentuk oleh lingkungan laut yang dominan.
Orang Pulo: Akulturasi Budaya di Atas Karang
Masyarakat asli Kepulauan Seribu, yang dikenal dengan sebutan ‘Orang Pulo’, adalah produk dari sebuah proses akulturasi yang panjang dan dinamis. Tidak seperti banyak daerah lain di Indonesia yang memiliki suku asli yang dominan, Kepulauan Seribu adalah sebuah melting pot atau kuali peleburan budaya.38 Sejak berabad-abad lalu, gugusan pulau ini berfungsi sebagai tempat persinggahan, transit, dan akhirnya pemukiman bagi para pelaut, pedagang, dan nelayan dari berbagai penjuru Nusantara. Catatan sejarah dan tradisi lisan menunjukkan bahwa gelombang pemukim awal berasal dari beragam etnis, terutama suku-suku pelaut seperti Banten, Mandar dari Sulawesi, Bugis, Sunda pesisir, bahkan hingga Dayak Tidung dari Kalimantan.2
Pusat dari pembentukan budaya ‘Orang Pulo’ ini diyakini adalah Pulau Panggang. Pulau ini dianggap sebagai pulau berpenghuni tertua dan hingga kini menjadi yang terpadat.38 Di pulau inilah perpaduan kompleks antara budaya Banten, Sulawesi, dan sedikit pengaruh Betawi pertama kali terjadi, melahirkan sebuah karakter dan budaya baru yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lain, seperti Pulau Pramuka yang sebagian besar penduduk awalnya berasal dari Pulau Panggang.39 Identitas mereka tidak lagi terikat pada tanah leluhur di Banten atau Sulawesi, melainkan pada lingkungan baru mereka: pulau. Inilah esensi dari sebutan ‘Orang Pulo’—identitas yang ditempa oleh laut.
Bukti paling nyata dari keunikan budaya ini adalah bahasanya. Meskipun secara geografis sangat dekat dengan Jakarta, dialek yang digunakan oleh Orang Pulo—sering disebut ‘Bahasa Pulo’ atau ‘Logat Pulo’—sangat berbeda dengan dialek Betawi.39 Bahasa ini merupakan sebuah kreol berbasis Melayu yang kaya akan pengaruh dari bahasa-bahasa para pendatang.39
Beberapa ciri linguistik yang paling menonjol dari Bahasa Pulo antara lain:
- Glottal Stop: Karakteristik yang paling khas adalah penggunaan glottal stop (bunyi hamzah) untuk menggantikan pelafalan huruf ‘t’ dan ‘k’ mati di akhir kata. Sebagai contoh, kata laut diucapkan menjadi lau’, kunyit menjadi kunyi’, dan belok menjadi blengko’.38
- Pergeseran Vokal: Terdapat kecenderungan untuk mengubah bunyi vokal ‘u’ menjadi ‘o’. Kata tidur sering diucapkan tidor, mau menjadi mao, dan timur menjadi timor.44
- Kosakata Unik: Bahasa Pulo memiliki leksikonnya sendiri yang tidak ditemukan di tempat lain. Beberapa contoh yang paling terkenal adalah atret yang berarti ‘mundur’ dan potret yang berarti ‘maju’. Istilah lain seperti pangkeng untuk ‘kamar’ juga menunjukkan kekhasan kosakata mereka.38
Selain bahasa, identitas Orang Pulo juga tercermin dalam tradisi dan kearifan lokal mereka. Salah satu yang paling penting adalah tradisi sedekah laut atau pesta laut, sebuah upacara ritual yang menunjukkan rasa syukur dan hormat kepada laut yang telah menjadi sumber kehidupan utama mereka selama turun-temurun.2 Tradisi ini menggarisbawahi betapa dalam hubungan spiritual dan ekonomi masyarakat dengan lingkungan maritim yang mengelilingi mereka.
Dari Panglima Hitam hingga Noni Belanda: Legenda yang Menjaga Pulau
Seperti halnya budaya dan bahasanya, jiwa Kepulauan Seribu juga hidup dalam legenda dan cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kisah-kisah ini bukan sekadar dongeng pengantar tidur, melainkan cerminan dari sejarah, kepercayaan, dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakatnya. Cerita-cerita ini memberi makna pada lanskap, menjelaskan asal-usul tempat, dan sering kali berfungsi sebagai penjaga moral dan kelestarian lingkungan.
Salah satu figur legendaris yang paling dihormati adalah Panglima Hitam dari Pulau Tidung. Meskipun bukti sejarah otentiknya masih samar, legenda yang hidup di tengah masyarakat melukiskannya sebagai seorang pendekar sakti yang berasal dari Suku Tidung di Kalimantan.46 Ia diyakini berjuang melawan penjajah Belanda sebelum akhirnya diasingkan atau gugur di pulau tersebut.46 Makamnya yang berada di Pulau Tidung Kecil kini menjadi situs yang dikeramatkan dan sering diziarahi.46 Legenda ini berkelindan dengan kisah nyata tentang Raja Pandita dari Kerajaan Tidung yang memang diasingkan oleh Belanda ke pulau itu pada akhir abad ke-19, memberikan lapisan historis pada cerita rakyat tersebut.49
Di sisi lain spektrum, terdapat kisah-kisah bernuansa mistis yang lahir dari sejarah kelam pulau-pulau penjara. Pulau Onrust, dengan rekam jejaknya sebagai tempat karantina penyakit, kamp tawanan, dan lokasi eksekusi, secara alami menjadi subur bagi cerita-cerita hantu.50 Legenda yang paling terkenal adalah tentang arwah
Maria van de Velde, seorang noni Belanda yang konon meninggal karena wabah penyakit pes tepat di hari pernikahannya. Arwahnya dipercaya masih sering menampakkan diri dalam balutan gaun pengantin, menunggu kekasihnya yang tak pernah kembali.29 Kisah-kisah semacam ini adalah gema dari penderitaan dan tragedi yang pernah terjadi di pulau tersebut.
Tidak semua legenda bernada suram. Jembatan Cinta, yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil, telah melahirkan mitosnya sendiri yang bernuansa romantis. Konon, pasangan kekasih yang melintasi jembatan ini bersama-sama akan memiliki hubungan yang langgeng dan harmonis.48 Ada pula kepercayaan bahwa melompat dari jembatan ke laut di bawahnya dapat membersihkan diri dari pikiran negatif dan membawa peruntungan.52 Mitos modern ini telah berhasil menjadi daya tarik wisata yang kuat, menunjukkan bagaimana folklore dapat beradaptasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.
Banyak pula legenda yang berfungsi sebagai pengingat dan peringatan. Kisah tentang asal-usul nama Pantai Pasir Perawan di Pulau Pari adalah salah satu contohnya. Satu versi cerita menyebutkan tentang seorang gadis kecil yang hilang secara misterius di pantai itu, konon dibawa terbang oleh seekor burung gagak raksasa atau diculik oleh makhluk halus.52 Cerita-cerita seperti ini, meskipun sulit dibuktikan, menanamkan rasa hormat dan kewaspadaan terhadap alam pada pendengarnya. Mereka secara tidak langsung mengajarkan untuk tidak meremehkan kekuatan alam dan untuk selalu menjaga tata krama saat berada di tempat baru, sebuah kearifan lokal yang penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan harmoni sosial.52
Tantangan Modern dan Visi Masa Depan
Memasuki abad ke-21, Kepulauan Seribu berada di persimpangan jalan yang krusial. Gugusan pulau ini menghadapi serangkaian tantangan kompleks yang akan menentukan nasibnya di masa depan. Pertarungan antara kepentingan ekonomi, tekanan lingkungan, dan kebijakan pemerintah menciptakan sebuah dilema yang menuntut pengelolaan yang cermat dan berkeadilan. Masa depan Kepulauan Seribu tidak lagi hanya ditulis oleh angin dan ombak, tetapi juga oleh keputusan-keputusan yang diambil di ruang rapat dan oleh dampak aktivitas manusia di daratan.
Dilema Ekonomi: Antara Jaring Nelayan, Rig Minyak, dan Pesona Pariwisata
Perekonomian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menampilkan sebuah paradoks yang tajam. Di satu sisi, citra yang dipromosikan secara nasional dan di tingkat kebijakan adalah sebagai destinasi pariwisata unggulan dan lumbung perikanan. Kepulauan Seribu bahkan telah ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).54 Namun di sisi lain, data statistik Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menunjukkan realitas yang sangat berbeda.
Struktur ekonomi wilayah ini secara absolut didominasi oleh sektor “Pertambangan dan Penggalian,” yang dalam konteks ini merujuk pada aktivitas eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas (migas) lepas pantai. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2021, sektor ini menyumbang 77,08% dari total PDRB kabupaten.56 Angka ini membuat kontribusi sektor-sektor lain yang menjadi tumpuan hidup masyarakat lokal terlihat sangat kecil. Sebagai perbandingan, sektor “Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan” hanya berkontribusi sebesar 5,35%, sementara sektor yang terkait langsung dengan pariwisata seperti “Perdagangan” dan “Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum” jika digabungkan pun kontribusinya masih jauh di bawah sektor migas.56
Tabel 2: Struktur PDRB Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Tahun 2024)
Lapangan Usaha | Nilai (Miliar Rupiah) | Kontribusi (%) |
Pertambangan dan Penggalian | 5.714,13 | 70,52% |
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan | 539,24 | 6,66% |
Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor | 449,43 | 5,55% |
Industri Pengolahan | 328,79 | 4,06% |
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum | 257,82 | 3,18% |
Konstruksi | 188,44 | 2,33% |
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial | 147,82 | 1,82% |
Jasa Lainnya | 141,03 | 1,74% |
Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib | 110,59 | 1,36% |
Sektor-sektor Lainnya | 225,69 | 2,79% |
Total PDRB | 8.102,98 | 100,00% |
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Seribu, diperbarui 10 Maret 2025. Persentase diolah dari data sumber. 57
Raksasa ekonomi di balik angka-angka ini adalah PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES). Perusahaan ini mengoperasikan Blok Southeast Sumatra (SES), sebuah wilayah kerja migas yang telah berproduksi sejak tahun 1968 dan secara resmi diambil alih oleh Pertamina dari CNOOC pada tahun 2018.58 Dengan pusat operasional di Pulau Pabelokan dan penemuan-penemuan baru seperti sumur Fanny-2 pada tahun 2021, blok ini menjadi kontributor signifikan bagi produksi energi dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Indonesia.60
Sementara itu, bagi masyarakat Orang Pulo, realitas ekonomi sehari-hari berpusat pada pergeseran dari mata pencaharian tradisional sebagai nelayan menuju industri pariwisata. Transformasi ini dipercepat oleh berbagai faktor, termasuk menurunnya hasil budidaya rumput laut akibat penyakit dan pencemaran.63 Banyak nelayan yang kini beralih profesi atau mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pemandu wisata, menyewakan perahu untuk
snorkeling, membuka homestay, atau mendirikan warung makan.63 Secara umum, pergeseran ini berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat lokal.64
Kehadiran tiga pilar ekonomi—perikanan tradisional, pariwisata berbasis masyarakat, dan industri migas skala besar—dalam satu ruang maritim yang terbatas tak pelak menciptakan konflik. Tumpahan minyak dari operasi lepas pantai menjadi ancaman nyata dan berulang. Insiden-insiden ini tidak hanya merusak ekosistem terumbu karang dan padang lamun, tetapi juga secara langsung menghancurkan mata pencaharian nelayan dan petani rumput laut, serta mencemari pantai-pantai yang menjadi andalan pariwisata.68 Di sisi lain, kebijakan zonasi yang bertujuan mengatur ruang untuk pariwisata atau konservasi sering kali berbenturan dengan kepentingan nelayan tradisional, membatasi akses mereka ke wilayah tangkapan ikan yang telah dimanfaatkan selama turun-temurun.72
Kondisi ini menyingkap adanya sebuah “ekonomi tak terlihat” yang mendominasi Kepulauan Seribu. Ekonomi yang terlihat adalah pariwisata dan perikanan yang melibatkan langsung komunitas lokal. Namun, ekonomi yang tak terlihat—industri migas yang padat modal dan minim penyerapan tenaga kerja lokal—jauh lebih besar skalanya. Disparitas ini menciptakan struktur sosio-ekonomi yang rapuh. Masyarakat lokal menanggung risiko lingkungan terbesar dari industri dominan, sementara sumber penghidupan utama mereka berasal dari sektor-sektor yang jauh lebih kecil dan rentan. Satu insiden tumpahan minyak besar berpotensi melumpuhkan ekonomi lokal selama bertahun-tahun, sementara angka PDRB di atas kertas mungkin tetap terlihat kuat. Kesejahteraan Orang Pulo, dengan demikian, tersandera oleh keselamatan operasional sebuah industri yang berada di luar kendali mereka.
Surga yang Terancam: Konservasi di Tengah Kepungan Masalah
Di tengah tekanan pembangunan dan eksploitasi ekonomi, Kepulauan Seribu juga memegang status penting sebagai kawasan konservasi. Upaya untuk melindungi kekayaan hayati lautnya dilembagakan melalui Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), namun upaya ini terus-menerus diuji oleh ancaman lingkungan yang datang dari dalam dan luar kawasan.
Ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan kemudian statusnya dikukuhkan menjadi Taman Nasional pada tahun 2002, TNKS mencakup wilayah perairan seluas 107.489 hektar.75 Misi utamanya adalah melindungi ekosistem-ekosistem kunci yang menjadi ciri khas kawasan ini, yaitu terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun. Selain itu, taman nasional ini juga menjadi benteng terakhir bagi sejumlah spesies terancam punah, dengan fokus utama pada pelestarian Penyu Sisik (
Eretmochelys imbricata) yang populasinya terus menurun.78
Untuk menyeimbangkan antara tujuan konservasi yang ketat dengan kebutuhan hidup masyarakat yang telah lama mendiami pulau-pulau di dalamnya, pengelolaan TNKS menerapkan sistem zonasi. Kawasan taman nasional dibagi ke dalam empat zona dengan peraturan yang berbeda-beda, sebuah pendekatan yang dirancang untuk memitigasi konflik pemanfaatan ruang.
Tabel 3: Zonasi dan Regulasi Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS)
Nama Zona | Luas (Hektar) | Tujuan Utama | Contoh Kegiatan yang Diizinkan/Dilarang |
Zona Inti | 4.449 | Perlindungan mutlak terhadap ekosistem dan biota laut, terutama habitat penyu dan terumbu karang. | Diizinkan: Penelitian, pendidikan, dan monitoring dengan izin khusus. Dilarang: Segala bentuk aktivitas ekstraktif, pariwisata, dan pembangunan yang mengubah bentang alam. |
Zona Perlindungan | 26.284,5 | Berfungsi sebagai penyangga (buffer) bagi zona inti. | Diizinkan: Penelitian, wisata terbatas, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat lokal. |
Zona Pemanfaatan Wisata | 59.634,5 | Pusat kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari. | Diizinkan: Kegiatan pariwisata komersial (snorkeling, diving, resort), penelitian, pendidikan, dan pembangunan sarana penunjang pariwisata. |
Zona Permukiman | 17.121 | Area untuk pemukiman penduduk dan pusat pemerintahan. | Diizinkan: Semua kegiatan di zona pemanfaatan, ditambah dengan budidaya perikanan tradisional dan aktivitas ekonomi masyarakat lainnya. |
Sumber: Diolah dari SK.05/IV-KK/2004 dan data penelitian terkait. 76
Salah satu kisah sukses dari upaya konservasi di TNKS adalah program pelestarian penyu yang berbasis di Pulau Pramuka. Dalam program ini, telur-telur penyu yang ditemukan di pantai-pantai peneluran dikumpulkan untuk ditetaskan secara semi-alami di pusat penangkaran. Anak penyu, atau tukik, yang baru menetas kemudian dirawat hingga cukup kuat untuk dilepaskan kembali ke laut lepas.76 Program yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal ini tidak hanya berhasil meningkatkan peluang hidup penyu sisik, tetapi juga telah berkembang menjadi salah satu atraksi eduwisata andalan di Kepulauan Seribu.
Meskipun demikian, surga ini terus dikepung oleh berbagai masalah lingkungan yang serius:
- Sampah Laut: Arus laut membawa jutaan ton sampah, terutama plastik, dari daratan Jakarta dan sekitarnya, yang kemudian terdampar di pantai-pantai dan terumbu karang Kepulauan Seribu. Masalah ini tidak hanya merusak keindahan visual yang menjadi modal pariwisata, tetapi juga membahayakan biota laut yang dapat terjerat atau menelan sampah tersebut. Berbagai inisiatif lokal seperti Bank Sampah dan penerapan teknologi pengolahan sampah (pirolisis, maggot) telah berjalan, namun kapasitasnya sangat terbatas. Diperkirakan hanya 30% dari total sampah yang bisa dikelola di pulau, sementara 70% sisanya, termasuk limbah B3, harus diangkut kembali ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di daratan, sebuah solusi yang mahal dan tidak berkelanjutan.83
- Abrasi dan Kenaikan Muka Air Laut: Sebagai gugusan pulau karang yang sangat rendah, Kepulauan Seribu sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pulau-pulau seperti Pulau Pari telah mengalami abrasi pantai yang parah, di mana garis pantai terus mundur dan pohon-pohon di tepiannya tumbang ke laut.87 Menghadapi ancaman eksistensial ini, kelompok-kelompok masyarakat, yang sering kali dipelopori oleh kaum perempuan, secara swadaya melakukan penanaman mangrove secara masif sebagai benteng alami untuk melindungi tanah kelahiran mereka.89
- Degradasi Terumbu Karang: Terumbu karang, yang merupakan fondasi ekosistem dan daya tarik utama pariwisata, berada di bawah tekanan hebat. Ancaman datang dari berbagai arah: polusi dari darat, praktik penangkapan ikan yang merusak, dan dampak langsung dari aktivitas pariwisata yang tidak terkontrol seperti jangkar perahu yang dijatuhkan sembarangan dan para wisatawan yang menginjak karang saat snorkeling.91 Penelitian-penelitian terbaru (2023-2024) menunjukkan kondisi kesehatan terumbu karang yang bervariasi, dari kondisi “cukup” hingga “baik” di beberapa lokasi yang terlindungi, namun banyak pula yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan dan penyakit, terutama di area dengan aktivitas manusia yang tinggi.92
Menata Masa Depan di Atas Gelombang Perubahan
Masa depan Kepulauan Seribu sedang dipertaruhkan di dalam sebuah labirin kebijakan yang rumit dan sering kali tumpang tindih. Sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), pengembangannya diarahkan oleh Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPARNAS).3 Di tingkat provinsi, nasibnya ditentukan oleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) DKI Jakarta 2025-2045.95 Namun, instrumen kebijakan yang paling menentukan dan paling kontroversial adalah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).3
RZWP3K telah menjadi titik nyala konflik antara pemerintah dan masyarakat lokal. Kelompok nelayan dan warga, khususnya di Pulau Pari, menolak keras rancangan peraturan daerah tersebut. Mereka berargumen bahwa proses penyusunannya tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna dan isinya lebih berpihak pada kepentingan investasi pariwisata skala besar dan privatisasi pulau.73 Ada kekhawatiran yang mendalam bahwa alokasi ruang dalam RZWP3K akan menyingkirkan nelayan tradisional dari wilayah tangkap mereka dan bahkan mengancam status kepemilikan tanah warga yang telah hidup di sana secara turun-temurun.74 Bagi mereka, RZWP3K bukanlah alat untuk pengelolaan yang adil, melainkan instrumen legal untuk perampasan ruang hidup.
Tantangan fundamental bagi Kepulauan Seribu adalah bagaimana mendamaikan identitas-identitasnya yang saling bertentangan: sebagai lumbung energi nasional yang vital, sebagai taman nasional yang dilindungi, sebagai destinasi pariwisata strategis, dan sebagai tanah tumpah darah bagi komunitas Orang Pulo. Setiap peran ini membawa agenda dan kepentingannya sendiri yang sering kali tidak sejalan.
Pada akhirnya, masa depan yang berkelanjutan bagi Kepulauan Seribu hanya dapat terwujud melalui sebuah pendekatan kebijakan yang tidak hanya cerdas secara ekonomi dan bertanggung jawab secara ekologis, tetapi juga berlandaskan pada keadilan sosial. Ini menuntut adanya pemberdayaan yang tulus terhadap komunitas lokal, memberikan mereka suara yang setara dan menentukan dalam proses perencanaan seperti RZWP3K. Masyarakat Orang Pulo harus diposisikan sebagai subjek dan penerima manfaat utama dari pembangunan, bukan sebagai objek atau korban yang terpinggirkan. Seribu riwayat yang telah terukir di gugusan pulau ini—kisah tentang perebutan, penderitaan, ketahanan, dan adaptasi—adalah pengingat yang kuat tentang apa yang dipertaruhkan jika kita gagal menata masa depannya dengan bijaksana.
Daftar Pustaka
Dokumen Pemerintah dan Publikasi Resmi
- Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulauan Seribu:
- Publikasi “PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu Menurut Lapangan Usaha” (data tahun 2021, 2022, 2023) digunakan untuk mendapatkan data ekonomi yang menunjukkan dominasi sektor pertambangan.
- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan Museum Sejarah Jakarta:
- Menyediakan konteks sejarah umum mengenai era pra-kolonial, sengketa antar-kerajaan, dan aktivitas VOC di sekitar Batavia dan Kepulauan Seribu.
- Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2001:
- Sebagai dasar hukum pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
- Dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi DKI Jakarta:
- Memberikan informasi mengenai alokasi ruang laut yang tumpang tindih antara zona konservasi, pariwisata, dan pertambangan migas.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK):
- Menyediakan informasi mengenai penetapan dan zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Jurnal Ilmiah dan Publikasi Akademis
- Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Trunojoyo Madura, Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjadjaran, dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ):
- Berbagai jurnal dan studi dari universitas-universitas ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai kondisi terumbu karang, dampak sosial-ekonomi pariwisata, tantangan konservasi penyu, dan budaya masyarakat “Orang Pulo”.
- Sajogyo Institute:
- Publikasi mengenai konflik pemanfaatan ruang antara nelayan dan pemilik resor di Kepulauan Seribu.
Buku dan Liputan Media Mendalam
- Buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo” oleh Fadli Zon:
- Menjadi sumber utama untuk mengoreksi mitos dan meluruskan fakta mengenai lokasi eksekusi Kartosoewirjo, yang ternyata berada di Pulau Ubi, bukan Pulau Onrust.
- Liputan Jurnalistik (Tirto.id, Kompas.id, Detik.com, Antara News, Viva.co.id):
- Artikel-artikel mendalam dari media-media ini memberikan narasi dan detail spesifik tentang:
- Sejarah Pulau Onrust sebagai galangan kapal, stasiun karantina haji, dan penjara.
- Kesaksian dan kondisi para tahanan.
- Legenda dan cerita rakyat lokal (misalnya, Panglima Hitam).
- Laporan mengenai insiden tumpahan minyak dan dampaknya bagi masyarakat.
- Profil tokoh-tokoh lokal penggerak konservasi.
- Artikel-artikel mendalam dari media-media ini memberikan narasi dan detail spesifik tentang:
Situs Sejarah dan Organisasi Non-Pemerintah
- TracesOfWar.com:
- Menyediakan detail spesifik mengenai penahanan warga sipil Jerman dan awak kapal selam U-195 di Pulau Onrust selama dan setelah Perang Dunia II.
- LindungiHutan:
- Memberikan informasi mengenai gerakan-gerakan konservasi berbasis masyarakat, terutama penanaman mangrove di Pulau Pari.