Dari Meester Cornelis ke Stasiun Kereta Api Jatinegara

Wilayah Jakarta Timur, seperti wilayah lain di Jakarta, berperan penting dalam perdagangan dan administrasi kolonial Belanda selama berabad-abad. Pada masa itu, banyak bangunan bersejarah dan infrastruktur penting yang dibangun atau dipertahankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Seiring berjalannya waktu, sebagian besar bangunan ini telah mengalami perubahan dan restorasi, dan banyak di antaranya masih dapat ditemui hingga hari ini sebagai saksi sejarah kolonial Jakarta.

Stasiun Kereta Api Jatinegara, yang terletak di Jakarta, Indonesia, menyimpan sejarah dan signifikansi yang luar biasa dalam sistem transportasi kota. Sebagai stasiun kereta api yang vital, stasiun ini berperan penting dalam menghubungkan Jakarta dengan daerah lain dan memfasilitasi pergerakan orang dan barang

Meester Cornelis, sebuah daerah yang awalnya merupakan tanah milik seorang pemuka agama Kristen bernama Cornelis van Senen, menjadi nama wilayah bekas properti tanah milik mendiang. Pada tahun 1887, Perusahaan kereta api swasta Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOSM) meresmikan Stasiun Meester Cornelis bersamaan pembukaan jaringan kereta api Batavia (Jakarta)-Meester Cornelis (Jatinegara)-Bekasi. Namun, karena masalah keuangan, pada tahun 1889 jaringan tersebut dibeli oleh perusahaan kereta api negara Staatssporwegen (SS).

Pada 1909, SS membangun stasiun baru yang letaknya sekitar 600 meter arah timur dari Stasiun Meester Cornelis eks BOSM. Hal ini diumumkan melalui surat kabar Het Niews van den Dag voor Nederlandsch Indie edisi 11 Oktober 1909. Kepala Eksploitasi Westerlijnen SS menyebutkan bahwa stasiun baru tersebut telah dibuka sementara untuk penumpang dan pengiriman barang pada 15 Oktober 1909. Sementara itu, stasiun lama tetap digunakan untuk lalu lintas barang.

Stasiun Meester Cornelis yang baru diduga merupakan hasil karya Insinyur Snuyff, seorang kepala sementara di biro arsitek Burgelijk Openbare Werken (Dinas Pekerjaan Umum). Awalnya, stasiun ini dikenal dengan nama Rawa Bangke yang diambil dari nama rawa yang berada tidak jauh dari stasiun. Rencananya, stasiun ini akan menjadi tempat singgah kereta ekspres menuju Bandung. Namun setelah pengambilaihan jalur Jakarta-Bogor milik Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschapij (NISM) tahun 1913, rencana tersebut terlupakan.

Setelah SS menguasai perkeretaapian di Jakarta, mereka merencanakan perbaikan kondisi perkeretaapian di Jakarta. Jalur Manggarai-Jatinegara mendapat prioritas untuk segera dilakukan perbaikan. SS membangun jalur ganda yang menanjak dari Stasiun Jatinegara dan membuatnya lebih tinggi daripada sebelumnya. Untuk menghubungkan dengan Stasiun Manggarai yang baru, SS membangun sebuah jembatan beton di atas Sungai Ciliwung.

Untuk menghindari persimpangan dengan jalan raya padat, SS melaksanakan peninggian jalur kereta api dan membangunnya lebih tinggi lagi agar bisa melewati Matramanweg (Jalan Matraman). Proyek ini rampung pada tahun 1918 dan disusul dengan perpanjangan emplasemen Stasiun Meester Cornelis serta renovasi bangunnya agar lebih besar lagi.

Pendudukan Jepang di Indonesia menyebabkan perubahan nama wilayah Meester Cornelis menjadi Jatinegara. Perubahan nama tersebut pun berdampak terhadap perubahan nama stasiun, yakni Stasiun Jatinegara.

Penamaan wilayah Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara karena banyaknya hutan jati atau “negara sejati” yang dipopulerkannya oleh Pangeran Jayakarta. Hal ini berdampak terhadap perubahan nama stasiunnya menjadi Stasiun Jatinegara.

Pada 3 September 1945 pegawai kereta api dan pejuang melancarkan pengambilalihannya dari tangannya dengan penuruan bendera merah putih oleh Margono di Kantor Sinyal dan Telkom Stasiun itu sendiri.

Januari 1946 DKARI punya tugas penting membawa Presiden Soekarno dan rombongannya dengan lokomotif Uap C2849 milik Dipo Stasiunnya itu sendiri beserta masinis & juru apinya yaitu Bp Hoesein & Bp Moertado/Soead masing-masingnya untuk operasional amannya esok harinya

Tahun 1980, Departemen Perhubungan bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyusun sebuah Rencana Induk Kereta Api di Wilayah Jabotabek yaitu Sistem Kereta Api Komuter Modern untuk menumbuhkan peran kereta api di wilayah Jabotabek. Rehabilitasi persinyalan dan jalur rel dilaksanakan pada tahun 1983 dan 1987 serta pekerjaan peningkatan saluran Telkom di lintas Jatinegara-Bekasi tahun 1988.

Seiring dengan perkembangan kota Jakarta, Stasiun Jatinegara juga mengalami peningkatan fasilitas dan perluasan fungsi. Awalnya, stasiun ini hanya berfungsi sebagai tempat berhenti kereta api. Namun, seiring berjalannya waktu, Stasiun Jatinegara menjadi salah satu stasiun tersibuk di Jakarta dengan berbagai layanan dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan penumpang yang semakin meningkat

Stasiun Jatinegara dirancang dengan gaya arsitektur kolonial khas. Bangunan ini menampilkan bentuk bangunan yang megah dengan sentuhan artistik pada detail dan ornamen-ornamen yang menghiasi fasad bangunan. Arsitekturnya menggabungkan unsur-unsur Eropa dengan nuansa tropis yang khas.

Pada saat itu, arsitektur Eropa sangat mempengaruhi desain stasiun ini. Gaya arsitektur neoklasik, dengan pilar-pilar besar dan ornamen-ornamen yang indah, digunakan untuk menciptakan kesan mewah dan elegan. Selain itu, penggunaan atap yang melengkung dan jendela-jendela besar memberikan ciri khas bangunan kolonial Belanda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Stasiun Jatinegara mengalami transformasi arsitektur yang signifikan. Gaya arsitektur kolonial digantikan oleh desain yang lebih sederhana dan fungsional. Bangunan-bangunan baru dibangun dengan konsep yang lebih modern, menggabungkan fungsi dengan keindahan estetika.

Selama beberapa tahun terakhir, Stasiun Jatinegara telah mengalami serangkaian renovasi dan penambahan fasilitas. Beberapa perubahan termasuk penambahan terowongan bawah tanah untuk memudahkan akses penumpang, pembangunan gedung parkir, dan pembaruan sistem informasi penumpang. Renovasi ini bertujuan untuk mengakomodasi peningkatan jumlah penumpang dan meningkatkan pengalaman perjalanan yang lebih nyaman.

Dalam menghadapi era teknologi yang semakin maju, Stasiun Jatinegara juga mengintegrasikan inovasi dan teknologi dalam desain arsitekturnya. Penggunaan pintu otomatis, sistem informasi digital, dan pembaruan infrastruktur teknologi menjadi bagian dari transformasi arsitektur stasiun ini. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengalaman perjalanan yang lebih efisien dan lebih terhubung bagi para penumpang.

Dengan perkembangan dan transformasi arsitektur yang terjadi dari masa ke masa, Stasiun Jatinegara tetap menjadi ikon penting dalam sejarah perkembangan transportasi di Jakarta. Dari gaya arsitektur kolonial hingga arsitektur modern, stasiun ini terus berubah dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman, sambil mempertahankan keindahan dan fungsinya sebagai pusat transportasi penting di ibu kota.

Stasiun Jatinegara juga menjadi tempat pertemuan bagi ribuan orang setiap harinya. Di dalamnya terdapat banyak aktivitas, seperti kedai kopi, toko buku, dan restoran cepat saji. Selain itu, stasiun ini juga menjadi titik awal dan tujuan bagi banyak perjalanan, menghubungkan orang-orang dari berbagai wilayah dan memfasilitasi mobilitas yang lebih mudah di dalam kota.

Stasiun Jatinegara, dengan keindahan arsitektur klasiknya, telah menjadi ikon yang tak terpisahkan dari kota Jakarta. Namun, seiring berjalannya waktu, bangunan tersebut mengalami kerusakan dan keausan yang signifikan. Untungnya, upaya pemugaran telah dilakukan untuk memulihkan kemegahan Stasiun Jatinegara.

Pemugaran dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan bahwa keaslian dan karakteristik asli bangunan tetap terjaga. Setiap detail, mulai dari ornamen hingga pintu dan jendela, diperbaiki dengan teliti demi mengembalikan suasana masa lalu. Dengan demikian, Stasiun Jatinegara kini tetap memancarkan pesona sejarahnya.

Pelestarian warisan budaya memainkan peran yang sangat penting dalam proses restorasi Stasiun Jatinegara. Bangunan ini bukan hanya sekadar sebuah stasiun kereta api, tetapi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan sejarah kota Jakarta.

Melalui restorasi yang dilakukan, Stasiun Jatinegara berhasil mempertahankan integritasnya sebagai warisan budaya yang berharga. Dalam proses ini, pihak terkait bekerja sama dengan arsitek dan ahli sejarah untuk memahami dan memulihkan keaslian bangunan tersebut. Dengan begitu, generasi sekarang dan masa depan dapat terus menikmati warisan budaya yang berharga ini.

Sumber : https://heritage.kai.id/page/Stasiun%20Jatinegara

[MN]

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest