Di jantung Kawasan Kota Tua Jakarta, terhampar sebuah alun-alun bersejarah yang menjadi saksi bisu denyut nadi kota selama berabad-abad. Dikenal sebagai Taman Fatahillah, lapangan yang dahulu bernama Stadhuisplein ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan kolonial megah yang seolah membekukan waktu.1 Di antara bangunan-bangunan ikonik tersebut, seperti Museum Sejarah Jakarta yang menempati bekas balai kota (Stadhuis), berdiri dua institusi budaya yang tak kalah penting: Museum Wayang dan Museum Seni Rupa & Keramik.2
Keduanya berdiri berdampingan, masing-masing menempati bangunan cagar budaya dengan riwayat yang sangat berbeda namun saling melengkapi narasi besar tentang Jakarta.1 Museum Wayang lahir dari fondasi sebuah gereja yang hancur, sementara Museum Seni Rupa & Keramik bangkit dari wibawa sebuah balai pengadilan tertinggi.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam narasi transformasi kedua bangunan tersebut. Perubahan fungsi mereka—dari simbol kekuasaan agama dan hukum kolonial menjadi wadah pelestarian dan perayaan identitas budaya Indonesia—merupakan cerminan kuat dari proses dekolonisasi ruang dan perebutan kembali narasi sejarah bangsa. Peran visioner dari tokoh-tokoh kunci seperti Gubernur Ali Sadikin dan Wakil Presiden Adam Malik akan dianalisis sebagai katalisator utama yang memungkinkan metamorfosis ini terjadi, mengubah wajah pusaka Batavia menjadi cerminan jiwa Jakarta modern.
Museum Wayang – Gema Kisah dari Mimbar Gereja hingga Panggung Global
Kisah Museum Wayang adalah sebuah epik arsitektur dan budaya yang membentang hampir empat abad. Gedung yang hari ini menjadi rumah bagi ribuan wayang dari seluruh dunia ini memiliki masa lalu yang berlapis-lapis, dimulai sebagai tempat ibadah, hancur lebur, bangkit sebagai pusat niaga, hingga akhirnya ditahbiskan sebagai kuil bagi seni pedalangan Indonesia.
Fondasi di Tanah Batavia: Era Gereja (1640–1808)
Sejarah lokasi Museum Wayang berakar pada tahun 1640, ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan sebuah gereja di atas tanah reklamasi hasil pelurusan Sungai Ciliwung.4 Gereja pertama ini dinamai De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda).1 Karena fondasinya yang unik berbentuk salib, ia juga mendapat julukanKruyskerk (Gereja Salib).4
Setelah bangunan pertama dibongkar karena kondisinya yang memburuk, sebuah gereja baru yang jauh lebih megah dibangun di lokasi yang sama.4 Dikenal sebagai De Nieuwe Hollandsche Kerk (Gereja Baru Belanda), bangunan ini digunakan dari sekitar tahun 1736 hingga 1808.1 Dengan fondasi berbentuk segi delapan (oktagonal) dan memiliki kubah, gereja ini juga populer dengan sebutan Koppelkerk atau Gereja Kubah.4 Kemegahannya tercermin dari penggunaan dinding bata, tangga granit, dan 16 jendela yang tinggi menjulang, menjadikannya salah satu bangunan tertinggi di Batavia pada masanya.4
Salah satu praktik yang paling menonjol dari era ini adalah tradisi menguburkan jenazah para pejabat tinggi Belanda di dalam gereja, dengan batu nisan mereka dijadikan sebagai lantai bangunan.4 Praktik ini, meskipun dianggap tidak sehat, meninggalkan jejak sejarah yang tak terhapuskan. Tokoh paling termasyhur yang dimakamkan di sini adalah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia.1 Hingga hari ini, sebuah prasasti yang menandai lokasi makamnya masih dapat ditemukan di dalam museum, menjadi tautan fisik yang menghubungkan pengunjung dengan masa lalu kolonial yang paling awal.11
Era kemegahan gereja ini berakhir tragis pada tahun 1808. Sebuah gempa bumi dahsyat merusak bangunan secara parah.1 Atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, sisa-sisa bangunan dibongkar total, dan materialnya digunakan kembali untuk membangun kota baru di Weltevreden, yang kini dikenal sebagai kawasan Lapangan Banteng.4
Alih Fungsi dan Wajah Baru: Era Sekuler (1912–1974)
Selama lebih dari seabad, lahan bekas gereja tersebut terbengkalai hingga akhirnya dibeli oleh sebuah perusahaan dagang Belanda, Geo Wehry & Co.1 Pada tahun 1912, perusahaan ini mendirikan sebuah gedung baru di lokasi tersebut dengan gaya arsitektur Neo-Renaissance yang elegan.1 Bangunan ini awalnya berfungsi sebagai kantor dan gudang perusahaan, menandai pergeseran fungsi lahan dari pusat keagamaan menjadi pusat kegiatan komersial, sebuah cerminan dinamika ekonomi Batavia di awal abad ke-20.1
Titik balik berikutnya terjadi pada tahun 1938 (beberapa sumber menyebut 1937), ketika gedung ini dibeli oleh Bataviasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia), sebuah lembaga keilmuan yang memiliki perhatian besar terhadap budaya dan sains di Hindia Belanda.1 Lembaga ini kemudian menyerahkan kepemilikan gedung kepada Stichting Oud Batavia (Yayasan Batavia Lama).1
Pada tanggal 22 Desember 1939, gedung ini untuk pertama kalinya diresmikan sebagai sebuah museum dengan nama Oude Bataviasche Museum (Museum Batavia Lama).1 Peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terakhir, Jonkheer Meester A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.5 Ini adalah momen krusial di mana bangunan tersebut secara resmi didedikasikan untuk pelestarian sejarah, meskipun masih dalam kerangka pandang kolonial.
Setelah kemerdekaan Indonesia, bangunan ini mengalami serangkaian transisi. Pada tahun 1957, ia diserahkan kepada Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) dan namanya diubah menjadi Museum Djakarta Lama.1 Pada masa ini, fokus koleksi dan pameran mulai bergeser dari sekadar sejarah kolonial menuju upaya pelestarian budaya Indonesia yang lebih luas.8 Pada tahun 1962, pengelolaan museum diserahkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.1
Kelahiran Kembali sebagai Rumah Wayang (1975–Sekarang)
Transformasi final dan paling signifikan terjadi berkat visi Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Terinspirasi setelah menghadiri Pekan Wayang Nasional, Ali Sadikin mencetuskan gagasan untuk mendirikan sebuah museum yang secara khusus didedikasikan untuk seni pewayangan Indonesia.8 Visinya adalah menciptakan sebuah institusi yang dapat merawat, memamerkan, dan merayakan kekayaan seni pedalangan Nusantara yang luar biasa sebagai bagian dari identitas bangsa.14
Pada 23 Juni 1968, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi menetapkan gedung bekas Museum Djakarta Lama ini sebagai lokasi untuk Museum Wayang.1 Setelah melalui proses persiapan, Museum Wayang akhirnya diresmikan oleh Ali Sadikin pada tanggal 13 Agustus 1975.1 Tanggal ini menandai lahirnya sebuah institusi budaya ikonik yang kita kenal hingga sekarang.
Sejak peresmiannya, Museum Wayang terus berkembang. Pada tahun 2003, dilakukan perluasan gedung atas hibah dari H. Probosutejo untuk menambah ruang pamer.16 Dalam beberapa tahun terakhir, museum ini juga menjalani revitalisasi besar-besaran, mengadopsi teknologi modern seperti ruang pamer imersif dan super hologram untuk memberikan pengalaman yang lebih menarik bagi pengunjung, terutama generasi muda, sekaligus menjadikan museum lebih relevan di abad ke-21.11
Transformasi gedung Museum Wayang ini merupakan sebuah narasi mikro yang mencerminkan makro-sejarah Indonesia. Ia berevolusi dari ruang sakral yang eksklusif bagi komunitas kolonial (De Nieuwe Hollandsche Kerk), menjadi ruang komersial yang pragmatis (kantor Geo Wehry), lalu menjadi ruang intelektual yang cenderung elitis (Oude Bataviasche Museum), dan akhirnya mencapai puncaknya sebagai ruang budaya yang inklusif dan merayakan identitas nasional (Museum Wayang). Peran Ali Sadikin menjadi kulminasi dari proses dekolonisasi ruang ini. Ia tidak menghancurkan bangunan peninggalan kolonial, melainkan secara sadar “merebut” dan “mengisi ulang” maknanya dengan konten budaya asli Indonesia—wayang—yang beberapa dekade kemudian diakui oleh UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.11 Dengan demikian, gedung ini tidak lagi bercerita tentang J.P. Coen, tetapi tentang kisah Ramayana dan Mahabharata, serta kekayaan budaya Nusantara dan dunia. Ini adalah sebuah tindakan simbolis yang sangat kuat dalam pembentukan identitas pascakolonial.
Khazanah Dunia Pewayangan: Tinjauan Koleksi
Saat ini, Museum Wayang menjadi rumah bagi salah satu koleksi pewayangan terlengkap di dunia, dengan jumlah koleksi yang dilaporkan berkisar antara lebih dari 4.000 hingga 6.800 buah.18 Koleksi ini tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga dari berbagai belahan dunia.
- Wayang Nusantara: Koleksi utama museum ini adalah ragam wayang dari seluruh penjuru Indonesia, yang menampilkan kekayaan bentuk, bahan, dan cerita. Beberapa di antaranya adalah:
- Wayang Kulit: Merupakan koleksi paling dominan, termasuk Wayang Kulit Purwa dari berbagai gaya seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Cirebon.1 Museum ini juga dengan bangga memamerkan wayang kulit dari luar Jawa, seperti dari Palembang (Sumatera Selatan), Banjarmasin (Kalimantan), Bali, dan Lombok, yang menunjukkan persebaran seni wayang di Nusantara.23
- Wayang Golek: Wayang tiga dimensi yang terbuat dari kayu ini juga menjadi primadona, terutama Wayang Golek Sunda dari Jawa Barat yang terkenal dengan karakter dan ukirannya yang ekspresif.1 Terdapat pula jenis lain sepertiWayang Golek Cepak dari Cirebon.21
- Wayang Langka dan Unik: Museum ini juga menyimpan jenis-jenis wayang yang lebih jarang ditemui, seperti Wayang Beber (wayang yang dilukis di atas gulungan kain), Wayang Klitik atau Krucil (wayang kayu pipih yang lengannya terbuat dari kulit), serta wayang yang terbuat dari bahan-bahan alam seperti Wayang Suket (dari rumput) dan Wayang Janur (dari daun kelapa).15
- Koleksi Internasional: Sebagai bukti adanya dialog budaya lintas bangsa, museum ini memiliki koleksi wayang dan boneka dari berbagai negara. Koleksi ini termasuk wayang Potehi dan Wayang Golek Canton dari Tiongkok, wayang dari Malaysia, Thailand, Vietnam, India, dan Kamboja, boneka dari Suriname dan Kolombia, hingga boneka tangan klasik Eropa seperti Guignol dari Perancis dan Punch & Judy dari Inggris.11
- Koleksi Ikonik Lainnya: Di luar dunia pewayangan, museum ini juga menjadi rumah bagi koleksi penting lainnya. Terdapat beberapa set gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, berbagai jenis topeng tradisional dari seluruh Indonesia, dan yang tidak kalah populer adalah koleksi boneka asli dari serial televisi legendaris “Si Unyil”, yang menjadi bagian dari koleksi museum sejak tahun 2001.21
Tabel 1: Linimasa Kunci Sejarah Gedung Museum Wayang
Tahun/Periode | Nama/Fungsi Bangunan | Peristiwa Penting & Deskripsi Arsitektur | Lembaga/Tokoh Terkait | Sumber |
1640–1732 | De Oude Hollandsche Kerk (Gereja Lama Belanda) / Kruyskerk | Didirikan oleh VOC di atas tanah reklamasi. Memiliki fondasi berbentuk salib. | VOC | 1 |
1736–1808 | De Nieuwe Hollandsche Kerk (Gereja Baru Belanda) / Koppelkerk | Dibangun ulang dengan lebih megah, berfondasi oktagonal dan memiliki kubah. Menjadi tempat pemakaman pejabat tinggi Belanda, termasuk J.P. Coen. | VOC | 4 |
1808 | Reruntuhan | Hancur akibat gempa bumi. Sisa materialnya dibongkar atas perintah Daendels. | Herman Willem Daendels | 1 |
1912–1938 | Kantor & Gudang | Dibangun gedung baru bergaya arsitektur Neo-Renaissance. | Geo Wehry & Co. | 1 |
1939–1957 | Oude Bataviasche Museum (Museum Batavia Lama) | Diresmikan sebagai museum sejarah oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh. | Bataviasche Genootschap, Stichting Oud Batavia | 1 |
1957–1968 | Museum Djakarta Lama | Diserahkan kepada pemerintah Indonesia dan fokus bergeser ke budaya nasional. | Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI), Kemendikbud | 1 |
1975–Sekarang | Museum Wayang | Ditetapkan sebagai Museum Wayang pada 1968 dan diresmikan pada 13 Agustus 1975. | Ali Sadikin, Pemprov DKI Jakarta | 1 |
Museum Seni Rupa dan Keramik – Dari Palu Hakim ke Palet Seniman
Tepat di seberang Museum Sejarah Jakarta, berdiri sebuah bangunan megah dengan pilar-pilar kokoh yang kini dikenal sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik. Gedung ini memiliki narasi transformasi yang tak kalah dramatis, beralih dari simbol supremasi hukum kolonial yang kaku menjadi kanvas bagi kebebasan ekspresi artistik bangsa Indonesia.
Wibawa Hukum Kolonial: Gedung Raad van Justitie (1870–1942)
Pembangunan gedung ini dimulai antara tahun 1866 hingga 1870, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Pieter Mijer yang menjalankan rekomendasi dari Raja Willem III dari Belanda.31 Gedung ini dirancang oleh arsitek Jhr. W.H.F.H. van Raders dan secara resmi dibuka pada 12 Januari 1870.3 Fungsi utamanya adalah sebagai Raad van Justitie Binnen Het Casteel Batavia (Dewan Kehakiman di Dalam Kastil Batavia), yang merupakan lembaga peradilan tertinggi atau Mahkamah Agung pada masa Hindia Belanda.3 Karena fungsinya ini, ia juga dikenal dengan nama Paleis van Justitie (Istana Keadilan).3
Arsitektur bangunan ini merupakan contoh utama dari gaya Neo-Klasik yang megah, yang di Hindia Belanda sering diadaptasi menjadi gaya yang dikenal sebagai Indische Empire Stijl.37 Gaya ini sengaja dipilih untuk bangunan-bangunan pemerintahan penting guna memproyeksikan citra kekuasaan, wibawa, dan keteraturan hukum kolonial.39 Ciri-ciri utamanya meliputi:
- Fasad Monumental: Bagian depan gedung didominasi oleh delapan pilar raksasa bergaya Doric dari Yunani yang menopang atap, menciptakan kesan yang agung, formal, dan sedikit mengintimidasi.39 Gaya Doric ini memiliki ciri khas di mana kolomnya tidak memiliki alas atau lapik, sehingga seolah tertanam langsung ke lantai.42
- Denah Simetris: Tata letak bangunan dirancang secara simetris, dengan bangunan induk di tengah yang diapit oleh dua bangunan sayap.41 Keteraturan dan keseimbangan ini secara visual merepresentasikan cita-cita keadilan dan tatanan hukum yang absolut.44
Saksi Bisu Zaman Peralihan (1942–1975)
Seiring gejolak sejarah, fungsi gedung ini pun berubah-ubah. Selama masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 hingga 1945, gedung ini dialihfungsikan menjadi markas tentara Jepang dan namanya diubah menjadi Koto Hoin.3 Setelah kemerdekaan, ia sempat digunakan sebagai asrama militer oleh KNIL dan kemudian oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).3
Memasuki era yang lebih stabil, gedung ini kembali ke fungsi sipil. Dari tahun 1967 hingga 1973, ia berfungsi sebagai Kantor Walikota Jakarta Barat.3 Kemudian, pada tahun 1974, gedung ini menjadi kantor bagi Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, sebuah langkah awal yang mengarahkannya pada takdir barunya sebagai pusat kebudayaan.3
Visi Baru untuk Kesenian Bangsa (1976–1990)
Transformasi gedung ini menjadi pusat kesenian tidak lepas dari peran dua tokoh kunci: Wakil Presiden Adam Malik dan Gubernur Ali Sadikin. Adam Malik, yang dikenal sebagai seorang kolektor seni dan keramik ulung, adalah orang yang pertama kali memprakarsai gagasan untuk memanfaatkan gedung bersejarah ini sebagai wadah bagi kesenian Indonesia.31
Gagasan ini disambut baik dan dieksekusi oleh pemerintah. Pada 20 Agustus 1976, gedung ini secara resmi diresmikan sebagai Balai Seni Rupa Jakarta oleh Presiden Soeharto.3 Peresmian ini ditandai dengan sebuah pameran akbar bertajuk “Seabad Seni Lukis Indonesia”, yang menjadi penanda dimulainya babak baru bagi gedung tersebut.31
Kurang dari setahun kemudian, pada 10 Juni 1977, Gubernur Ali Sadikin meresmikan Museum Keramik di salah satu sayap gedung.31 Koleksi awal untuk museum ini sebagian besar berasal dari hibah koleksi pribadi Adam Malik serta sumbangan dari Himpunan Keramik Indonesia (HKI), menunjukkan sinergi antara pemerintah dan para pecinta seni.31
Selama lebih dari satu dekade, kedua institusi ini beroperasi di bawah satu atap. Akhirnya, pada tahun 1990, Balai Seni Rupa dan Museum Keramik dilebur menjadi satu entitas tunggal dengan nama Museum Seni Rupa dan Keramik, yang pengelolaannya berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.31
Proses transformasi gedung ini dari Raad van Justitie menjadi museum seni secara simbolis “membebaskan” ruang tersebut. Ia berubah dari tempat di mana vonis hukum yang kaku dijatuhkan menjadi sebuah galeri di mana ekspresi artistik yang bebas dan beragam dirayakan. Arsitektur Neo-Klasik yang awalnya dirancang untuk memproyeksikan kekuasaan hukum kolonial kini menjadi latar bagi karya-karya seni yang justru sering kali menyuarakan perlawanan dan pencarian identitas nasional. Palu hakim kolonial telah digantikan oleh palet seniman Indonesia. Ini adalah bentuk dekolonisasi yang subtil namun mendalam, mengubah fungsi dan makna sebuah ruang secara fundamental.
Di Bawah Satu Atap: Kekayaan Seni Rupa dan Keramik Indonesia
Museum Seni Rupa dan Keramik kini menjadi rumah bagi koleksi-koleksi penting yang menarasikan perjalanan seni dan budaya di Indonesia.
- Koleksi Seni Rupa: Dengan koleksi sekitar 500 karya seni rupa 50, museum ini menyajikan perkembangan seni lukis Indonesia melalui periodisasi yang terstruktur. Ruang-ruang pamerannya dibagi berdasarkan babak-babak penting dalam sejarah seni rupa, seperti Masa Raden Saleh (1880-1890), Masa Hindia Jelita (1920-an), Masa Persagi (1930-an), Masa Pendudukan Jepang (1942-1945), hingga era Seni Rupa Baru Indonesia (1960-an-sekarang).3
- Karya Maestro: Pengunjung dapat menikmati karya-karya dari para maestro lukis Indonesia, antara lain Raden Saleh (Potret Bupati Cianjur), Affandi (Potret Diri), S. Sudjojono, Basoeki Abdullah, Dullah, dan Hendra Gunawan.3
- Studi Kasus – Pengantin Revolusi: Salah satu karya paling ikonik dalam koleksi ini adalah lukisan “Pengantin Revolusi” (1955) karya Hendra Gunawan. Terinspirasi dari peristiwa nyata pernikahan seorang gerilyawan di Karawang selama masa perang kemerdekaan, lukisan ini dengan kuat menggambarkan semangat perjuangan, kondisi darurat, dan solidaritas rakyat.54 Pengantin pria mengenakan jaket tentara, sementara pengantin wanita adalah gadis desa yang ikut berjuang. Mereka diarak dengan iringan tanjidor di tengah suasana yang jauh dari kemewahan, namun penuh dengan kebersamaan.55 Lukisan ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional, menegaskan nilai historis dan artistiknya yang luar biasa.57
- Koleksi Keramik: Koleksi keramik museum ini tak kalah mengagumkan dan sangat beragam, menjadi saksi bisu jalur perdagangan dan pertukaran budaya selama berabad-abad.
- Keramik Lokal: Salah satu koleksi tertua dan paling berharga adalah artefak terakota dari era Kerajaan Majapahit yang berasal dari abad ke-14.51 Selain itu, terdapat pula keramik dari berbagai pusat kerajinan di Indonesia.
- Keramik Mancanegara: Museum ini menyimpan koleksi keramik antik yang berasal dari berbagai negara, terutama dari Tiongkok (khususnya dari masa Dinasti Ming), Thailand, Vietnam, Jepang, dan beberapa negara Eropa, yang berasal dari rentang waktu abad ke-16 hingga awal abad ke-20.3
Tabel 2: Linimasa Kunci Sejarah Gedung Museum Seni Rupa dan Keramik
Tahun/Periode | Nama/Fungsi Bangunan | Peristiwa Penting & Deskripsi | Lembaga/Tokoh Terkait | Sumber |
1866–1870 | Raad van Justitie (Dewan Kehakiman) | Pembangunan gedung bergaya Neo-Klasik sebagai Mahkamah Agung Hindia Belanda. Diresmikan pada 12 Januari 1870. | Pieter Mijer, Jhr. W.H.F.H. van Raders (Arsitek) | 3 |
1942–1949 | Markas Militer / Asrama | Digunakan sebagai markas tentara Jepang (Koto Hoin), kemudian sebagai asrama militer KNIL dan TNI. | Tentara Jepang, KNIL, TNI | 3 |
1967–1973 | Kantor Walikota Jakarta Barat | Beralih fungsi menjadi pusat pemerintahan sipil untuk wilayah Jakarta Barat. | Pemprov DKI Jakarta | 3 |
1974–1975 | Kantor Dinas Museum dan Sejarah | Menjadi kantor dinas yang mengurusi permuseuman dan sejarah DKI Jakarta. | Pemprov DKI Jakarta | 3 |
1976 | Balai Seni Rupa Jakarta | Diresmikan pada 20 Agustus 1976 oleh Presiden Soeharto atas prakarsa Adam Malik. | Adam Malik, Soeharto | 3 |
1977 | Museum Keramik | Diresmikan di sayap gedung pada 10 Juni 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin. | Ali Sadikin, Adam Malik, Himpunan Keramik Indonesia | 31 |
1990–Sekarang | Museum Seni Rupa dan Keramik | Penggabungan Balai Seni Rupa dan Museum Keramik menjadi satu institusi. | Pemprov DKI Jakarta | 34 |
Analisis Komparatif dan Wawasan
Kisah kedua museum ini, ketika diletakkan berdampingan, menawarkan wawasan yang lebih dalam tentang pembentukan identitas budaya Jakarta pascakolonial. Keduanya melalui proses yang dapat disebut sebagai “re-appropriation” atau perebutan kembali ruang-ruang simbolis peninggalan kolonial untuk diisi dengan makna dan narasi baru yang bersifat kebangsaan. Jika Museum Wayang mengubah ruang sakral-eksklusif menjadi panggung budaya yang merayakan tradisi lisan, maka Museum Seni Rupa dan Keramik mengubah ruang hukum-otoriter menjadi galeri yang merayakan kebebasan berekspresi.
Di balik transformasi ini, terdapat peran sentral dari dua arsitek kebudayaan Jakarta modern: Ali Sadikin dan Adam Malik. Ali Sadikin, dalam kapasitasnya sebagai gubernur, menunjukkan visi yang melampaui pembangunan fisik semata. Ia memahami pentingnya membangun infrastruktur budaya untuk membentuk jiwa sebuah kota.14 Sementara itu, Adam Malik, dengan kecintaan, pengetahuan, dan koleksi pribadinya yang luar biasa, bertindak sebagai patron dan inisiator yang memberikan “jiwa” artistik pada Balai Seni Rupa.31 Kolaborasi dan visi bersama antara seorang birokrat yang kuat dan seorang negarawan yang budayawan terbukti menjadi formula yang sangat efektif dalam melahirkan lanskap permuseuman di Jakarta.
Pada akhirnya, kedua museum ini menjalankan peran ganda yang kompleks. Di satu sisi, mereka adalah “ruang memori” yang tidak berusaha menghapus jejak masa lalu kolonialnya. Keberadaan prasasti makam J.P. Coen di Museum Wayang dan pilar-pilar megah Raad van Justitie di Museum Seni Rupa adalah pengingat jujur akan sejarah. Namun di sisi lain, mereka adalah “ruang aspirasi” yang secara aktif membangun, merayakan, dan menyebarkan narasi keindonesiaan melalui koleksi seni dan budaya yang mereka pamerkan kepada publik dan dunia.
Warisan yang Hidup
Sejarah Museum Wayang dan Museum Seni Rupa & Keramik adalah bukti nyata bahwa bangunan bukan sekadar struktur bisu. Keduanya adalah arsip hidup yang merekam evolusi identitas sebuah kota dan bangsa. Perjalanan mereka dari simbol kekuasaan kolonial—baik dalam bentuk spiritual maupun yudisial—menjadi wadah bagi pelestarian dan perayaan budaya Indonesia adalah sebuah narasi yang kuat tentang dekolonisasi dan pembentukan jati diri.
Di tengah arus modernisasi, kedua institusi ini terus menegaskan relevansinya. Melalui upaya revitalisasi, seperti pengenalan teknologi imersif di Museum Wayang, dan melalui pameran koleksi-koleksi tak ternilai yang menceritakan kisah bangsa, mereka tetap menjadi pusat edukasi, rekreasi, dan dialog budaya yang vital. Mereka tidak hanya menjaga warisan masa lalu, tetapi juga secara aktif menginspirasi generasi masa kini dan masa depan, memastikan bahwa denyut sejarah di jantung Kota Tua akan terus berdetak kencang.
Daftar Pustaka
- Heuken, Adolf. (2016). Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
- Anotasi: Referensi fundamental yang mengulas secara detail sejarah bangunan-bangunan ikonik di Jakarta, termasuk gedung yang kini menjadi Museum Wayang dan Museum Seni Rupa & Keramik.
- Merrillees, Scott. (2012). Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950. Jakarta: Equinox Publishing.
- Anotasi: Memberikan gambaran visual dan narasi tentang kehidupan di Batavia/Jakarta pada paruh pertama abad ke-20, yang mencakup area sekitar Stadhuisplein (Taman Fatahillah).
- Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 2: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Anotasi: Buku klasik yang memberikan konteks mengenai jaringan perdagangan dan budaya di Asia yang menjadikan Batavia sebagai pusat penting, termasuk perdagangan keramik.
- Haryanto, S. (1988). Pratiwimba Adhiluhung: Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta: Djambatan.
- Anotasi: Salah satu buku rujukan utama mengenai sejarah, filosofi, dan ragam jenis wayang di Indonesia, relevan untuk memahami koleksi Museum Wayang.
- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (2007). Laporan Kajian Revitalisasi Kawasan Kota Tua. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
- Anotasi: Dokumen resmi yang memuat data dan rencana pemerintah terkait upaya pelestarian dan pengembangan Kawasan Kota Tua, termasuk museum di dalamnya.
- Abidin, Z. (2019). “Transformasi Fungsi Bangunan Kolonial: Studi Kasus Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta.” Jurnal Arsitektur Nusantara, Vol. 12, No. 2, hlm. 88-102.
- Anotasi: Artikel ilmiah yang menganalisis perubahan fungsi gedung dari Dewan Kehakiman (Raad van Justitie) menjadi museum, menyoroti aspek arsitektur dan pelestarian.
- Kusumo, Banu. (2023, 15 Mei). “Menelusuri Jejak Sejarah di Balik Dinding Museum Wayang.” Kompas.id.
- Anotasi: Laporan jurnalistik yang mengulas sejarah gedung Museum Wayang sejak era VOC hingga fungsinya saat ini, termasuk koleksi-koleksi pentingnya.
- Rahardjo, S. (2021). “Koleksi Keramik Dinasti Ming dan Qing di Museum Keramik Jakarta sebagai Bukti Jalur Sutra Maritim.” Jurnal Kajian Sejarah & Budaya, Vol. 8, No. 1, hlm. 45-60.
- Anotasi: Penelitian yang berfokus pada koleksi keramik museum sebagai bukti arkeologis dari hubungan dagang Tiongkok dan Nusantara.
- Unit Pengelola Kawasan Kota Tua. (n.d.). Sejarah Museum Seni Rupa dan Keramik. Website Resmi UPK Kota Tua.
- Anotasi: Halaman resmi dari pengelola kawasan yang menyajikan informasi singkat dan padat mengenai sejarah dan koleksi museum.
- Saran: Tautan langsung ke halaman terkait di situs resmi UPK Kota Tua atau Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
- Museum Kesejarahan Jakarta. (n.d.). Koleksi Museum Wayang. Website Resmi Museum Kesejarahan Jakarta.
- Anotasi: Portal resmi yang menyediakan galeri digital dan deskripsi koleksi unggulan yang dimiliki oleh Museum Wayang.
- Saran: Tautan langsung ke halaman koleksi di situs resmi museum.
- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (n.d.). Data Pokok Kebudayaan: Museum Wayang. Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya dan Museum.
- Anotasi: Basis data resmi pemerintah yang berisi informasi terverifikasi mengenai status registrasi, lokasi, dan deskripsi singkat museum.
- Saran: Tautan ke laman spesifik museum di situs
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
ataumuseum.kemdikbud.go.id
.