Sejarah Pecinan Glodok adalah salah satu narasi paling dramatis dan fundamental dalam pembentukan identitas Jakarta. Ini bukan sekadar kisah tentang perdagangan, melainkan tentang tragedi, pemaksaan, daya tahan luar biasa, dan lahirnya sebuah episenter ekonomi dari abu peristiwa kelam.
Jauh sebelum Glodok dikenal sebagai labirin toko elektronik dan surga kuliner, namanya lahir dari sebuah suara: “grojok-grojok-grojok”. Konon, begitulah bunyi air yang mengucur deras dari sebuah pancoran atau pancuran air besar yang pernah berdiri di area ini, menjadi sumber air bagi warga. Dari suara yang akrab di telinga itulah nama “Glodok” berasal, sebuah nama yang lahir dari elemen paling mendasar kehidupan: air [1]. Ironisnya, komunitas yang membuat nama itu abadi justru lahir dari elemen lawannya: api.
Api Tragedi: Geger Pacinan 1740
Untuk memahami mengapa Glodok berada di lokasinya sekarang, kita harus kembali ke sebuah peristiwa mengerikan pada Oktober 1740. Sebelum tahun itu, komunitas Tionghoa di Batavia tidak terkonsentrasi di Glodok. Mereka adalah bagian integral dari ekonomi kota sejak awal, tinggal di dalam dan sekitar tembok Batavia, terutama di sekitar area yang kini dikenal sebagai Pinangsia. Mereka adalah pedagang, perajin, dan tulang punggung industri gula yang saat itu sedang berkembang pesat.
Namun, kesuksesan ekonomi ini menimbulkan kecemburuan dan kekhawatiran bagi VOC. Ketika krisis ekonomi melanda industri gula, banyak buruh Tionghoa menjadi pengangguran. Pemerintah VOC yang paranoid, melihat mereka sebagai potensi ancaman, mengeluarkan kebijakan diskriminatif dan berencana mendeportasi mereka secara paksa. Ketegangan memuncak menjadi kerusuhan, yang dibalas oleh VOC dengan tindakan genosida. Selama beberapa hari, tentara VOC dan warga Batavia melakukan pembantaian sistematis terhadap ribuan orang Tionghoa dan membakar habis perkampungan mereka di dalam tembok kota. Peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai Geger Pacinan [2].
Setelah api padam, VOC mengeluarkan kebijakan segregasi yang ketat. Untuk memudahkan pengawasan, semua orang Tionghoa yang selamat diwajibkan untuk tinggal di sebuah area khusus di luar tembok kota, tepatnya di sebelah selatan gerbang Batavia. Area yang sengaja diciptakan sebagai “kampung” atau “ghetto” inilah yang kemudian menjadi Glodok. Kelahirannya bukanlah sebuah pilihan, melainkan hasil dari sebuah trauma dan kebijakan politik rasial [3].
Air Kehidupan: Denyut Nadi Ekonomi Baru
Di atas tanah pemaksaan ini, sebuah keajaiban ekonomi terjadi. Komunitas Tionghoa tidak hanya bertahan, mereka bangkit dengan kekuatan yang lebih besar. Glodok dengan cepat bertransformasi dari sebuah kamp pengasingan menjadi episenter komersial baru yang bahkan lebih dinamis dari sebelumnya. Di sinilah semangat wirausaha menemukan kawah candradimukanya.
Jalanan Glodok dipenuhi dengan rumah toko (ruko), sebuah konsep arsitektur brilian yang menggabungkan tempat usaha di lantai dasar dengan hunian di lantai atas. Toko kelontong, pedagang emas, rumah gadai, apotek tradisional (sinshe), hingga cikal bakal lembaga perbankan modern, semuanya berakar di sini. Untuk mengatur komunitasnya, VOC membentuk sebuah sistem pemerintahan tidak langsung dengan mengangkat seorang pemimpin dari kalangan mereka yang disebut Kapitan Cina, yang bertugas menjadi perantara antara komunitas dan pemerintah kolonial [3].
Di tengah kesibukan mencari nafkah, komunitas ini membangun jangkar spiritual dan budayanya. Vihara Dharma Bhakti (Kim Tek Ie), yang sebenarnya telah ada sebelum 1740, perannya menjadi semakin sentral sebagai pusat ibadah dan sosial bagi komunitas yang sedang membangun kembali hidupnya. Di sisi lain, proses akulturasi juga terjadi, yang jejaknya bisa dilihat pada Gereja Santa Maria de Fatima, sebuah gereja Katolik dengan arsitektur yang kental dengan nuansa Tiongkok.
Gema Masa Lalu, Wajah Masa Kini
Sejarah Glodok adalah sebuah siklus. Keterasingan dan tantangan adalah tema yang berulang, seperti yang kembali terasa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, di mana Glodok sekali lagi menjadi sasaran amuk massa. Namun, seperti leluhurnya yang bangkit dari abu Geger Pacinan, spirit Glodok terbukti tak mudah padam.
Hari ini, saat kita menyusuri gang-gang sempit di Petak Sembilan, mencicipi ragam kulinernya yang legendaris, atau melihat kesibukan di Jalan Pancoran, kita sedang berjalan di atas lapisan-lapisan sejarah. Suara “grojok-grojok” dari pancuran air itu mungkin telah lama hilang, namun denyut kehidupan yang dimulainya terus terasa. Glodok adalah monumen hidup—sebuah bukti abadi dari resiliensi, semangat juang, dan kontribusi tak terhapuskan dari komunitas Tionghoa dalam membentuk wajah Jakarta.
Sumber Referensi:
Shahab, Alwi. (2004). Saudagar Baghdad dari Betawi. Jakarta: Penerbit Republika. Alwi Shahab adalah sumber utama untuk sejarah-sejarah lisan dan populer Jakarta, termasuk teori mengenai asal-usul nama Glodok dari pancuran air.
Blussé, Leonard. (2004). Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS. Karya Blussé dianggap sebagai analisis akademis paling mendalam mengenai peristiwa Geger Pacinan 1740, dengan memanfaatkan arsip-arsip VOC secara ekstensif.
Coppel, Charles A. (2002). Studying Ethnic Chinese in Indonesia. Singapore: Singapore Society of Asian Studies. Tulisan-tulisan Coppel memberikan kerangka kerja yang sangat baik untuk memahami kebijakan Wijkenstelsel (sistem distrik/kampung) dan struktur sosial komunitas Tionghoa di bawah sistem Kapitan.