Monas: Bara Api Soekarno yang Menembus Langit Jakarta

Di tengah siluet Jakarta yang terus berubah, ada satu sosok yang tak tergoyahkan, berdiri tegak seolah menjadi sauh bagi ingatan kolektif bangsa ini. Dialah Monumen Nasional, atau Monas. Bagi jutaan pasang mata yang menatapnya setiap hari, ia mungkin sekadar penanda kilometer nol atau tujuan wisata. Namun, jika kita mengupas lapis demi lapis sejarahnya, Monas adalah sebuah epik—kisah tentang ambisi, idealisme, pertarungan gagasan, dan wasiat seorang proklamator untuk bangsanya.

Ini bukanlah sekadar cerita tentang mendirikan tugu. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah bangsa yang baru lahir berusaha memahat harga dirinya di langit dunia.

Gagasan dari Rahim Revolusi

Semuanya bermula dari satu orang: Soekarno. Beberapa tahun setelah pengakuan kedaulatan, Presiden pertama Republik Indonesia itu merasa gelisah. Ibu kota negara yang baru ini belum memiliki sebuah “tanda pengenal” yang monumental. Dalam benaknya, seperti yang tercatat dalam berbagai biografi dan catatan sejarah, Jakarta harus memiliki sebuah tengara yang bisa dibanggakan, yang mampu berteriak kepada dunia, “Inilah aku, Indonesia!”

Soekarno tak ingin sembarangan. Ia menginginkan sebuah monumen yang orisinal, yang napasnya adalah napas Indonesia. Ide ini bukan datang dari ruang hampa. Menurut sejarawan seperti Abdurrachman Surjomihardjo dalam kompilasi tulisannya tentang sejarah kota, gagasan ini adalah bagian dari Proyek Mercusuar Soekarno—sebuah upaya besar-besaran untuk membangun identitas nasional melalui arsitektur megah di tengah pergulatan ekonomi bangsa.

Maka, pada 17 Agustus 1954, setahun sebelum Pemilu pertama, sebuah komite nasional dibentuk. Sayembara pertama untuk desain monumen digelar pada tahun 1955. Puluhan karya masuk, namun tak ada satu pun yang mampu memikat hati Soekarno. “Tidak ada yang ‘Indonesia’,” begitu kira-kira keresahannya. Ia mencari sesuatu yang modern namun berakar, sebuah karya yang bisa berbicara tentang masa lalu sekaligus masa depan.

Pertarungan Gagasan di Meja Arsitek

Sayembara kedua dibuka pada tahun 1960. Kali ini, dari 136 peserta, desain karya Frederich Silaban, arsitek brilian yang juga merancang Masjid Istiqlal, berhasil menarik perhatian. Namun, jalan masih panjang. Soekarno, yang juga seorang insinyur arsitektur, turun tangan langsung. Ia menginginkan bentuk yang lebih simbolis, lebih heroik.

Di sinilah terjadi dialog intens antara sang Presiden dengan para arsitek. Desain Silaban kemudian disempurnakan bersama arsitek R.M. Soedarsono. Dari proses inilah lahir bentuk final Monas yang kita kenal hari ini—sebuah obelisk ramping yang ditopang oleh landasan cawan raksasa.

Bentuk ini bukan tanpa makna. Soekarno, dalam pidato-pidatonya, kerap merujuk pada simbolisme universal. Monas adalah interpretasi modern dari Lingga dan Yoni, sebuah konsep filosofis kuno dari Nusantara yang melambangkan kesatuan elemen maskulin (langit, spiritual) dan feminin (bumi, wadah). Ini adalah sebuah penegasan cerdas, bahwa monumen modern ini berakar pada peradaban ribuan tahun.

Lebih dari itu, Monas adalah sebuah pesan yang dikodekan dalam angka. Ukuran-ukurannya adalah sakramen dari hari proklamasi:

  • Tinggi pelataran cawan dari halaman dasar: 17 meter.
  • Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar: 45 x 45 meter.
  • Jarak antara Ruang Kemerdekaan di dalam cawan ke puncak lidah api: 8 meter.

Jika digabungkan, angka-angka itu menjadi bisikan abadi: 17-8-45.

Pembangunan di Tengah Badai

Dengan slogan “Pembangunan Monumen Nasional Lambang Kemerdekaan”, tiang pancang pertama ditanam pada 17 Agustus 1961. Proyek ini adalah sebuah pertaruhan besar. Di saat kondisi ekonomi negara sedang sulit, Soekarno menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Kritik pun berdatangan. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai proyek “gila” yang mengabaikan kebutuhan rakyat.

Namun, Soekarno bergeming. Baginya, mental sebuah bangsa juga perlu “diberi makan”. Pembangunan berjalan perlahan, menggunakan material terbaik. Marmer didatangkan dari Italia, sementara untuk bagian puncak, sebuah lidah api setinggi 14 meter dirancang untuk dilapisi emas seberat puluhan kilogram—simbol dari semangat perjuangan yang tak akan pernah padam.

Malang tak dapat ditolak, sang penggagas tak pernah melihat mahakaryanya selesai. Gejolak politik 1965-1966 mengakhiri kekuasaannya. Proyek Monas pun sempat terbengkalai, menjadi kerangka bisu di jantung ibu kota.

Barulah di era Orde Baru, pembangunan dilanjutkan. Pada 12 Juli 1975, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, Monumen Nasional akhirnya diresmikan dan dibuka untuk umum. Visi Soekarno telah menjadi kenyataan, meskipun ia tak ada di sana untuk meresmikannya.

Wasiat yang Terus Hidup

Hari ini, Monas telah melampaui fungsi awalnya sebagai monumen. Ia adalah ruang publik, tempat tawa anak-anak terdengar di sore hari. Ia adalah kanvas demokrasi, tempat jutaan suara menyatu dalam aksi. Ia adalah saksi bisu dari setiap rezim yang datang dan pergi.

Berdiri di pelatarannya, kita tidak hanya melihat batu dan emas. Kita melihat sebuah testamen—wasiat dari generasi pendiri bangsa yang diukir di langit Jakarta. Sebuah pengingat bahwa kemerdekaan adalah api yang harus terus dijaga agar tak kunjung padam.


Sumber Referensi:

  • Surjomihardjo, Abdurrachman (Ed.). (2000). Sejarah Perkembangan Kota Jakarta. Dinas Museum dan Sejarah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (Dirujuk dan diparafrase untuk konteks pembangunan Jakarta sebagai bagian dari proyek identitas nasional).
  • Situs Resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Cagar Budaya Monumen Nasional. (Dirujuk dan diparafrase untuk data teknis seperti tanggal sayembara, peresmian, dan detail arsitek).
  • Legge, John D. (2003). Soekarno: A Political Biography. Archipelago Press. (Dirujuk dan diparafrase untuk memahami konteks Proyek Mercusuar Soekarno dan motivasi politik di balik pembangunan monumen).
  • Heuken, Adolf. (2000). Historical Sites of Jakarta. Cipta Loka Caraka. (Dirujuk dan diparafrase untuk detail mengenai proses desain dan simbolisme Lingga-Yoni).

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest