Riwayat Jakarta Selatan – Dari Kota Satelit Hingga Jantung Metropolitan

Di panggung digital Indonesia kontemporer, “Anak Jaksel” telah menjadi sebuah arketipe, sebuah meme yang hidup dan bernapas. Fenomena ini menjelma dalam citra anak muda yang bertutur campur-aduk Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan frasa andalan seperti “which is,” “literally,” dan “basically,” sembari menyeruput kopi artisan di kafe-kafe estetis yang bertebaran di Senopati atau Cipete. Gaya hidup ini, yang sering diasosiasikan dengan konsumerisme, modernitas, dan status sosial tertentu, telah menjadi stenografi budaya untuk mendefinisikan Jakarta Selatan. Namun, citra populer ini, betapapun menghiburnya, hanyalah lapisan terluar dari sebuah sejarah yang jauh lebih kompleks, berlapis, dan penuh dengan pertaruhan ideologis. Di balik fenomena budaya pop tersebut, tersimpan kisah tentang sebuah wilayah yang lahir dari krisis, dibentuk oleh visi besar para pendiri bangsa, dan ditempa oleh gelombang transformasi sosial-ekonomi yang dahsyat.

Artikel ini berupaya membongkar narasi tunggal tersebut dan menelusuri riwayat Jakarta Selatan secara mendalam. Tulisan ini akan berargumen bahwa identitas unik Jakarta Selatan—sebuah amalgam dari prestise kaum elit, kekuatan komersial, dan penentu tren budaya—bukanlah sebuah fenomena yang muncul tiba-tiba. Sebaliknya, ia adalah hasil kumulatif yang logis dari serangkaian keputusan historis yang spesifik, kebijakan perencanaan kota yang visioner namun terkadang kontroversial, serta dinamika sosial yang tak terduga. Perjalanan ini akan membawa kita menelusuri jejaknya dari masa kolonial, saat wilayah ini hanyalah hamparan tanah partikelir yang sepi di pinggiran Batavia; menuju kelahirannya sebagai sebuah eksperimen kota satelit pasca-kemerdekaan yang ambisius; hingga transformasinya di bawah tangan besi Ali Sadikin; ledakan komersialnya pada era 1980-an yang melahirkan ikon budaya seperti Blok M; dan akhirnya, posisinya saat ini sebagai medan pertempuran budaya dengan masa depan yang penuh tanda tanya seiring dengan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Dengan menyingkap lapisan-lapisan sejarah ini, kita akan memahami bahwa Jakarta Selatan, dalam segala kompleksitasnya, adalah sebuah cermin dari perjalanan bangsa Indonesia modern itu sendiri.

Cikal Bakal di Selatan Batavia (Pra-1945)

Jauh sebelum menjadi kanvas bagi gedung-gedung pencakar langit dan pusat gaya hidup urban, wilayah yang kini kita kenal sebagai Jakarta Selatan adalah sebuah lanskap yang sama sekali berbeda. Ia merupakan daerah pinggiran (Ommelanden) dari pusat kekuasaan kolonial di Batavia, sebuah dunia yang didominasi oleh perkebunan luas, tanah-tanah pribadi para tuan tanah Eropa dan Tionghoa, serta kehidupan yang mengalir mengikuti ritme alam, bukan denyut nadi perdagangan global yang berpusat di pelabuhan utara.

Tanah Para Tuan dan Sungai Kehidupan

Struktur fundamental yang mendefinisikan wilayah selatan Batavia adalah sistem landgoed atau tanah partikelir. Ini adalah domain privat yang sangat luas, yang oleh pemerintah Hindia Belanda dijual atau diberikan kepada individu-individu swasta. Pemilik tanah ini, yang disebut landheer atau “tuan tanah,” memegang hak-hak istimewa yang menyerupai kekuasaan feodal, termasuk hak untuk memungut pajak dan menuntut kerja paksa (kompenian) dari penduduk yang tinggal di atas tanahnya. Kawasan seperti Pasar Minggu, misalnya, dulunya dikenal sebagai Landgoed Tandjong West, sebuah area agraris yang pada era kolonial menjadi sentra buah-buahan. Demikian pula, wilayah yang kelak menjadi Tebet merupakan bagian dari Landgoed Tanjoeng Oost.   

Peta Kolonial dan Pergeseran ke Selatan

Jika kita menelusuri peta-peta Batavia dari awal abad ke-20, pergeseran pusat gravitasi kota menjadi sangat jelas. Pusat pemerintahan dan pemukiman elit Eropa secara bertahap bergerak ke selatan dari Kota Tua yang padat dan dianggap tidak sehat, menuju area yang lebih sejuk dan terencana yang dikenal sebagai Weltevreden (sekitar Lapangan Banteng dan Monas saat ini). Namun, ekspansi ini seolah berhenti di sana. Peta Batavia dari tahun 1930-an menunjukkan bahwa wilayah yang kini menjadi Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan M.H. Thamrin masih berupa persawahan dan perkebunan di luar batas kota. Batas selatan kota Batavia yang sesungguhnya terhenti di sekitar Menteng dan Manggarai. 

Wilayah yang kelak menjadi Jakarta Selatan praktis masih berupa “terra incognita” dalam perencanaan kota kolonial. Ia adalah hinterland, daerah pedesaan yang berfungsi sebagai penyangga agraris bagi ibu kota. Statusnya sebagai wilayah periferal yang relatif kosong dan belum terjamah oleh pembangunan urban yang masif inilah yang secara ironis menjadikannya kandidat utama untuk sebuah proyek raksasa yang akan mengubah wajahnya selamanya setelah kemerdekaan.

Eksistensi tanah partikelir yang luas dan terkonsolidasi ini, sebuah warisan dari sistem kolonial yang eksploitatif, secara tidak sengaja menjadi prasyarat krusial bagi terwujudnya proyek pembangunan skala besar pasca-kemerdekaan seperti Kebayoran Baru. Proses pembebasan lahan untuk sebuah kota satelit seluas 730 hektar akan menjadi mimpi buruk logistik dan hukum jika pemerintah harus bernegosiasi dengan ribuan pemilik tanah kecil. Namun, dengan adanya landgoed yang dimiliki oleh segelintir tuan tanah, proses akuisisi menjadi jauh lebih terpusat dan memungkinkan. Dengan demikian, sebuah sistem yang berakar pada eksploitasi kolonial justru memfasilitasi lahirnya salah satu proyek mercusuar paling ambisius dari Republik yang baru merdeka.

Lebih jauh lagi, karakteristik geografis wilayah selatan—yang dianggap lebih sejuk, lebih tinggi, dan tidak sepadat kawasan pelabuhan di utara atau pusat administrasi Weltevreden—menjadikannya pilihan yang logis untuk sebuah awal yang baru. Ia menawarkan kesempatan untuk melarikan diri dari kepadatan, penyakit, dan jejak kolonial yang melekat di Batavia lama. Wilayah selatan menjadi kanvas kosong yang ideal, di mana para perencana Republik dapat melukiskan visi mereka tentang sebuah kota Indonesia yang modern, teratur, dan berwawasan ke depan. 

Kelahiran Sebuah Visi – Eksperimen Pasca-Kemerdekaan (1948-1965)

Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 tidak serta-merta mengubah Jakarta menjadi ibu kota yang damai dan teratur. Tahun-tahun berikutnya adalah periode penuh gejolak, di mana euforia kemerdekaan berbenturan dengan realitas pahit sebuah kota yang kewalahan. Dari krisis inilah lahir sebuah visi radikal yang akan mendefinisikan karakter Jakarta Selatan untuk generasi-generasi mendatang: pembangunan Kebayoran Baru, kota satelit pertama di Indonesia.

Jakarta Membludak, Sebuah Kota Mencari Ruang

Setelah pengakuan kedaulatan dan kembalinya ibu kota dari Yogyakarta ke Jakarta pada 1949, kota ini mengalami ledakan populasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jakarta menjelma menjadi “kota harapan” (city of hope), sebuah magnet yang menarik ratusan ribu orang dari berbagai penjuru nusantara. Mereka datang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, keamanan dari konflik-konflik di daerah, dan secercah asa kemakmuran yang dijanjikan oleh kemerdekaan. Data menunjukkan lonjakan dramatis: dari sekitar 823.356 jiwa pada 1948, populasi Jakarta melesat menjadi 1.340.625 jiwa hanya setahun kemudian. Pada tahun 1961, angka itu sudah mencapai hampir tiga juta jiwa. 

Arus urbanisasi dahsyat ini membuat infrastruktur kota yang sudah rapuh akibat perang menjadi lumpuh total. Krisis perumahan menjadi masalah paling mendesak. Para pendatang baru, yang tidak memiliki modal, terpaksa mendirikan hunian-hunian liar di lahan-lahan kosong, bantaran kali, dan sepanjang rel kereta api, melahirkan kampung-kampung kumuh yang luas. Pemerintah Republik yang masih muda dihadapkan pada sebuah dilema eksistensial: bagaimana menyediakan ruang hidup yang layak bagi warganya sekaligus membangun citra ibu kota yang modern dan berwibawa. Kebutuhan mendesak inilah yang menjadi katalisator bagi lahirnya proyek Kebayoran Baru. 

Kebayoran Baru: Proyek Mercusuar Republik Muda

Di tengah ketidakpastian politik dan keterbatasan sumber daya, sebuah gagasan ambisius mulai terbentuk. Tiga lokasi dipertimbangkan untuk pembangunan kota baru: Depok, Pasar Minggu, dan Kebayoran. Kebayoran akhirnya dipilih karena lokasinya yang relatif dekat dengan pusat kota (sekitar 7,5 kilometer) dan udaranya yang lebih sejuk. Ini bukan sekadar proyek perumahan; ini adalah sebuah eksperimen dalam tata kota modern, sebuah pernyataan ideologis tentang masa depan Indonesia. 

Konsep “Kota Taman” di Iklim Tropis

Jantung dari visi Kebayoran Baru adalah konsep “kota taman” (garden city), sebuah filosofi perencanaan yang mengutamakan keseimbangan antara area terbangun dengan ruang terbuka hijau yang luas untuk publik. Konsep ini digagas oleh H. Mohammad Soesilo, seorang insinyur Indonesia yang merupakan murid dari arsitek legendaris Hindia Belanda, Thomas Karsten. Soesilo menerapkan dua warisan konseptual Karsten yang revolusioner pada masanya: ‘social mix’ dan ‘organic whole’. 

Konsep ‘social mix’ berusaha mendobrak tatanan kota kolonial yang segregatif secara rasial. Alih-alih mengelompokkan penduduk berdasarkan etnis, Karsten dan Soesilo merancang perumahan berdasarkan kelas sosial-ekonomi, dengan menyediakan berbagai tipe rumah, mulai dari vila besar hingga rumah rakyat sederhana, dalam satu kawasan terpadu. Sementara itu, konsep ‘organic whole’ memandang kota sebagai sebuah organisme hidup, di mana perumahan, fasilitas umum (sekolah, pasar, tempat ibadah), ruang hijau, dan tempat kerja saling terhubung secara harmonis melalui jaringan jalan yang baik. Visi ini terwujud dalam pembagian Kebayoran Baru menjadi blok-blok yang ditandai dengan alfabet (Blok A hingga Blok S), masing-masing dengan fungsi dan tipologi bangunan yang telah ditentukan. 

Dari CSW ke PCK: Transisi Sebuah Proyek

Pembangunan fisik Kebayoran Baru dimulai pada awal 1949, dengan peletakan batu pertama dilakukan pada 8 Maret 1949. Awalnya, proyek ini dikelola oleh sebuah yayasan swasta yang dibentuk Belanda bernama Centrale Stichting Wederopbouw (CSW) pada 1 Juni 1948. Nama CSW begitu melekat dalam memori kolektif warga sehingga persimpangan besar di depan Kejaksaan Agung hingga kini masih populer disebut “Perempatan CSW”. 

Arsitektur Jengki: Spirit Kemerdekaan dalam Beton

Bersamaan dengan tumbuhnya kota satelit Kebayoran Baru, lahir pula sebuah langgam arsitektur yang unik dan khas Indonesia: gaya Jengki. Muncul pada era 1950-an, arsitektur Jengki adalah sebuah pemberontakan estetika terhadap gaya kolonial Belanda yang kaku, simetris, dan formal. Namanya diduga berasal dari kata “Yankee,” merujuk pada pengaruh Amerika pascaperang, namun gayanya sepenuhnya merupakan interpretasi lokal yang liar dan bebas. Arsitek Johan Silas menyebutnya sebagai “ekspresi kebebasan yang diterjemahkan ke dalam bentuk arsitektur”. 

Landmark Sebuah Era Baru

Pembangunan Kebayoran Baru tidak hanya soal rumah dan jalan. Ia juga ditandai dengan berdirinya monumen-monumen dan bangunan ikonik yang menjadi penanda zaman, merefleksikan aspirasi dan ideologi bangsa yang baru lahir.

Masjid Agung Al-Azhar (1953-1958)

Masjid Agung Al-Azhar bukanlah sekadar tempat ibadah; ia adalah sebuah pusat peradaban modern yang dirancang dengan cermat. Ide pendiriannya diprakarsai oleh 14 tokoh Partai Masyumi pada 1952. Atas saran ulama besar Buya Hamka, masjid dibangun terlebih dahulu sebelum sekolah, dengan visi untuk menjadikannya pusat kegiatan dakwah dan pendidikan sejak awal. Dibangun di atas lahan seluas 4,3 hektar, masjid ini dirancang oleh arsitek kenamaan Friedrich Silaban, seorang Kristen Protestan, sebuah fakta yang menjadi simbol toleransi yang kuat.  

Selesai pada 1958, masjid ini awalnya bernama Masjid Agung Kebayoran. Namanya diubah menjadi Masjid Agung Al-Azhar atas usul Imam Besar Al-Azhar Kairo, Mahmud Shaltut, saat berkunjung pada 1960. Kunjungan itu juga mengukuhkan Buya Hamka sebagai Imam Besar pertama masjid tersebut. Di tengah menguatnya pengaruh komunisme, Al-Azhar di bawah kepemimpinan Hamka menjadi benteng intelektual dan pusat kebangkitan Islam modern di Indonesia.   

Tugu Dirgantara Pancoran (1964-1966)

Jika Al-Azhar merepresentasikan pilar spiritual, Tugu Dirgantara adalah representasi ambisi dan keperkasaan nasional. Monumen ini merupakan gagasan langsung dari Presiden Soekarno, yang ingin mengabadikan semangat dan keberanian bangsa Indonesia dalam menaklukkan angkasa. Patung perunggu seberat 11 ton ini dirancang oleh pematung Edhi Sunarso, di mana posenya yang dinamis dengan tangan menunjuk ke depan diperagakan sendiri oleh Bung Karno. 

Kelahiran Jakarta Selatan sebagai entitas modern pada periode ini tidak dapat dipisahkan dari fungsinya sebagai kanvas bagi proyek pembangunan bangsa (nation-building). Krisis perumahan pasca-perang menyediakan justifikasi praktis, sementara ketersediaan lahan partikelir yang luas di selatan memberikan kesempatan teknis. Namun, bentuk dan isi dari pembangunan tersebut—mulai dari konsep kota taman yang egaliter, arsitektur Jengki yang anti-kolonial, hingga landmark monumental yang sarat simbolisme—sepenuhnya didorong oleh kebutuhan ideologis untuk menciptakan sebuah identitas fisik bagi Republik yang baru. Inilah momen ketika DNA Jakarta Selatan sebagai kawasan yang modern, terencana, dan bergengsi pertama kali ditanamkan.

Sebuah nuansa penting yang tidak boleh dilewatkan adalah paradoks dalam proses penciptaannya. Proyek Kebayoran Baru diinisiasi oleh otoritas kolonial (CSW) dan dirancang berdasarkan prinsip-prinsip arsitek didikan Belanda (Soesilo dan Karsten), namun dalam perjalanannya ia menjadi wadah bagi ekspresi arsitektur nasionalis yang paling vokal (Jengki) dan akhirnya diselesaikan oleh negara Indonesia (PCK) sebagai simbol kedaulatannya. Transformasi dari sebuah proyek kolonial menjadi monumen nasional ini adalah inti dari kisah kelahiran Jakarta Selatan yang kompleks.

Era Ali Sadikin dan Penegasan Identitas (1966-1978)

Ketika Letnan Jenderal KKO Ali Sadikin diangkat menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 1966, ia mewarisi sebuah kota yang sedang bertumbuh pesat namun juga terancam lumpuh oleh masalahnya sendiri. Periode kepemimpinannya menjadi babak penentu dalam sejarah Jakarta, termasuk wilayah selatannya. Dengan pendekatan pragmatis yang kerap menuai kontroversi, Ali Sadikin tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga secara definitif membentuk kerangka administratif yang mengukuhkan status Jakarta Selatan sebagai sebuah entitas yang mandiri dan penting.

Menjinakkan Urbanisasi: Kebijakan “Kota Tertutup”

Masalah paling pelik yang dihadapi Ali Sadikin adalah arus urbanisasi yang tak terbendung. Jakarta terus menjadi magnet bagi para pendatang, menyebabkan kepadatan penduduk yang membahayakan tatanan kota. Sebagai respons, Bang Ali—sapaan akrabnya—mengambil langkah drastis. Pada tanggal 5 Agustus 1970, ia mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. Ib. 3/1/27/1970 yang secara resmi menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup” bagi pendatang baru. 

Kebijakan ini mengharuskan setiap orang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta untuk dapat menetap. Mereka yang datang tanpa tujuan yang jelas—tanpa pekerjaan atau tempat tinggal yang pasti—dilarang bermukim dan akan dipulangkan ke daerah asal. Operasi yustisi dan razia KTP pun digelar untuk menegakkan aturan ini. Data menunjukkan bahwa antara Agustus 1970 hingga 1971, dari 16.885 pendatang baru yang tercatat, sekitar 2% di antaranya berhasil dikembalikan ke kampung halaman mereka. 

Namun, pada akhirnya, kebijakan ini lebih banyak menuai kegagalan daripada keberhasilan. Ironisnya, keberhasilan Ali Sadikin dalam membangun Jakarta justru menjadi faktor penarik yang lebih kuat bagi para migran. Proyek-proyek pembangunan yang masif menciptakan lapangan kerja baru dan citra Jakarta sebagai kota yang dinamis, membuat larangan administratifnya menjadi tumpul. Ali Sadikin pada akhirnya harus berdamai dengan kenyataan bahwa populasi Jakarta akan terus membengkak, sebuah pertarungan yang ia akui sendiri tidak bisa ia menangkan. 

Membangun dengan Pajak Judi

Fondasi dari keberhasilan pembangunan era Ali Sadikin terletak pada kebijakannya yang paling kontroversial: melegalkan dan memungut pajak dari perjudian. Saat menjabat, ia dihadapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sangat kecil, hanya sekitar Rp 66 juta, jumlah yang mustahil untuk membiayai proyek-proyek ambisiusnya. Melihat perjudian sebagai praktik ilegal yang sulit diberantas namun tetap subur di kalangan tertentu, Ali Sadikin memilih untuk melegalkannya agar bisa ditarik pajaknya untuk kepentingan publik. 

Langkah ini sontak mengundang kecaman keras, terutama dari kelompok-kelompok agama, dan membuatnya dijuluki “gubernur maksiat”. Namun, Bang Ali bergeming. Ia berargumen bahwa ini adalah langkah darurat untuk sebuah tujuan yang lebih besar: membangun Jakarta. “Saya habis-habisan dicaci maki. Tapi saya bilang, saya memerlukan dana untuk membangun kota ini… Ini ada sumber uang, akan saya ambil,” tegasnya. 

Hasilnya luar biasa. Pendapatan dari pajak judi, lotre, dan kasino menjadi mesin uang yang memompa APBD Jakarta secara drastis. Selama sebelas tahun masa jabatannya, ia berhasil meningkatkan APBD menjadi Rp 116 miliar. Dana “haram” inilah yang kemudian ditransformasikan menjadi fasilitas “halal” bagi warga: ribuan gedung sekolah, perbaikan kampung (termasuk Proyek M.H. Thamrin), pembangunan puskesmas, pelebaran jalan, dan pusat-pusat kebudayaan seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Taman Impian Jaya Ancol. Meskipun tidak ada data spesifik yang merinci alokasi dana ini per wilayah, pembangunan infrastruktur yang masif ini dirasakan di seluruh penjuru kota, termasuk Jakarta Selatan, yang semakin terkonsolidasi sebagai bagian integral dari metropolitan.

Lahirnya Kota Administrasi Jakarta Selatan

Puncak dari proses panjang perkembangan wilayah selatan adalah pengesahan statusnya secara formal. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 1978, yang ditetapkan pada tanggal 28 Agustus 1978, pemerintah pusat secara resmi membentuk lima Wilayah Kota di dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Momen ini adalah akta kelahiran resmi bagi Kota Administrasi Jakarta Selatan. 

Peraturan ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah pengakuan legal atas sebuah realitas fungsional yang telah terbentuk selama tiga dekade. Sejak konsepsi Kebayoran Baru, wilayah selatan telah berevolusi dari sekadar kota satelit menjadi sebuah pusat pemukiman, ekonomi, dan sosial yang vital bagi Jakarta. PP No. 25/1978 memberikan struktur administratif yang sesuai dengan bobot dan peran pentingnya.

Pada awal pembentukannya, Kota Administrasi Jakarta Selatan ditetapkan terdiri dari tujuh kecamatan, yang menjadi fondasi bagi pembagian wilayahnya di kemudian hari. 

Pembentukan ini lebih dari sekadar pembagian administratif. Ia adalah penegasan bahwa Jakarta Selatan telah menjadi pilar tak terpisahkan dari ibu kota, dengan kompleksitas dan dinamikanya sendiri yang memerlukan pengelolaan terfokus. Beberapa tahun kemudian, wilayah ini akan dimekarkan lebih lanjut dengan pembentukan Kecamatan Pancoran, Jagakarsa, dan Pesanggrahan melalui PP No. 90 Tahun 1980, menunjukkan pertumbuhannya yang terus berlanjut. 

Era Ali Sadikin memperlihatkan sebuah paradoks fundamental dalam tata kelola kota. Upayanya untuk membendung arus urbanisasi melalui kebijakan “Kota Tertutup” secara langsung dilawan oleh keberhasilan program pembangunannya sendiri, yang didanai oleh sumber kontroversial. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang masif justru menjadikan Jakarta, termasuk wilayah selatannya, semakin menarik bagi para pendatang. Kegagalan kebijakan kependudukan ini, bagaimanapun, berjalan seiring dengan keberhasilan pembangunan fisik yang tak terbantahkan.

Pada akhirnya, penetapan Jakarta Selatan sebagai kota administrasi pada tahun 1978 bukanlah sebuah tindakan penciptaan, melainkan sebuah tindakan pengakuan. Pemerintah secara resmi memberikan stempel legal pada sebuah realitas sosial, ekonomi, dan demografis yang telah berkembang pesat sejak era kemerdekaan. Wilayah selatan telah bertransformasi dari sebuah konsep kota satelit menjadi jantung kedua metropolitan, dan kini ia memiliki identitas administratif yang setara dengan status fungsionalnya.

Denyut Nadi Komersial dan Budaya Pop (1980-an – 2000-an)

Memasuki dekade 1980-an, fondasi yang telah diletakkan pada era-era sebelumnya mulai menghasilkan buah yang matang. Jakarta Selatan, khususnya kawasan Kebayoran Baru dan koridor bisnis yang baru tumbuh, meledak menjadi episentrum komersial dan budaya yang tak tertandingi di Indonesia. Ini adalah era di mana identitas “Jaksel” dalam bentuknya yang paling awal mulai terbentuk, didorong oleh perpaduan antara kekuatan ekonomi, budaya populer, dan interaksi global yang semakin intens.

Blok M: Episentrum Gaya Hidup Anak Muda

Jika ada satu tempat yang menjadi simbol semangat zaman (zeitgeist) era 1980-an dan 1990-an di Jakarta, tempat itu adalah Blok M. Berawal dari pusat komersial yang dirancang untuk melayani kota satelit Kebayoran Baru, Blok M bertransformasi menjadi magnet bagi kaum muda dari seluruh penjuru kota. 

Evolusi Komersial

Ledakan komersial di Blok M dipicu oleh kehadiran pusat-pusat perbelanjaan modern yang menjadi destinasi utama. Aldiron Plaza, yang kemudian menjadi Blok M Square, adalah salah satu mal pertama di Indonesia yang beroperasi sejak 1978 dan menjadi tempat berburu barang mewah. Kemudian menyusul raksasa-raksasa ritel lain seperti Pasaraya yang didirikan pada 1974 (awalnya bernama Sarinah Jaya) , Plaza Blok M yang megah dan diresmikan oleh Ibu Tien Soeharto pada 1991 , serta Mal Blok M yang unik karena dibangun di bawah tanah, terintegrasi langsung dengan terminal bus, dan diresmikan pada 1992. Kehadiran pusat-pusat belanja yang saling berdekatan ini menciptakan sebuah distrik ritel yang padat dan dinamis.  

Pusat Budaya Pop

Namun, signifikansi Blok M jauh melampaui fungsi komersialnya. Kawasan ini menjadi panggung utama budaya populer anak muda. Jalan Melawai menjadi arena untuk “Jalan-Jalan Sore” (JJS) dan “mejeng,” di mana anak-anak muda memamerkan gaya busana dan mobil terbaru mereka. Di sinilah lahir istilah-istilah slang ikonik seperti “suer,” “bokis,” dan “kece,” yang banyak dipopulerkan melalui film Blok M (1990) yang dibintangi oleh Desy Ratnasari dan Paramitha Rusady. Fenomena ini juga diabadikan dalam lagu-lagu hits seperti “Lintas Melawai” oleh Harry Moekti dan “Jalan Sore” oleh Denny Malik, yang semakin mengukuhkan citra Blok M sebagai pusat pergaulan paling bergengsi. 

“Little Tokyo” di Melawai

Di tengah denyut budaya pop lokal, sebuah subkultur internasional yang unik mulai bersemi. Seiring dengan berkembangnya koridor bisnis Sudirman, banyak perusahaan multinasional Jepang yang membuka kantor di Jakarta. Para ekspatriat Jepang ini memilih untuk tinggal dan bersosialisasi di sekitar Kebayoran Baru, dan Melawai menjadi pusat kegiatan mereka. Akibatnya, area di sekitar Jalan Melawai Raya dan jalan-jalan kecil di sekitarnya dipenuhi oleh restoran, bar, supermarket, dan tempat karaoke otentik Jepang, yang kemudian melahirkan julukan “Little Tokyo”. Restoran seperti Kira Kira Ginza, yang telah berdiri sejak 1985 (awalnya bernama Don/Jorin), menjadi saksi bisu terbentuknya kantong budaya ini. Kehadiran komunitas Jepang ini tidak hanya menambah keragaman kuliner, tetapi juga menciptakan ruang interaksi yang langka antara budaya pemuda lokal dan komunitas ekspatriat global. 

Segitiga Emas Menggeliat

Pertumbuhan Blok M tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia didukung oleh mesin ekonomi raksasa yang sedang dibangun di dekatnya: koridor perkantoran Sudirman-Kuningan. Pembangunan jalan-jalan arteri utama seperti Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan H.R. Rasuna Said menjadi tulang punggung bagi ledakan pembangunan komersial yang membentuk “Segitiga Emas” Jakarta.  

Transformasi paling dramatis terjadi di kawasan yang kini dikenal sebagai Sudirman Central Business District (SCBD). Sulit membayangkan bahwa area seluas 45 hektar yang kini dipenuhi gedung-gedung pencakar langit ini dulunya adalah kawasan permukiman kumuh. Rencana induk untuk mengubahnya menjadi distrik bisnis premium disusun antara tahun 1987-1992 oleh PT Danayasa Arthatama, dan pembangunan infrastruktur dimulai pada 1992-1993. Pembangunan SCBD menjadi simbol puncak dari pergeseran fungsi lahan di Jakarta Selatan, dari residensial menjadi pusat korporat kelas dunia. Diikuti kemudian oleh pengembangan kawasan Mega Kuningan, di mana Menara Rajawali menjadi gedung komersial pertamanya yang dibangun pada 1995-1997. 

Dinamika pertumbuhan di era ini menunjukkan adanya sebuah mesin simbiotik yang kuat. Kawasan pemukiman elit yang telah mapan di Kebayoran Baru menyediakan basis konsumen yang makmur. Kelompok konsumen inilah yang menjadi pasar utama bagi pusat perbelanjaan dan hiburan canggih yang tumbuh di Blok M. Di sisi lain, pembangunan koridor perkantoran di Sudirman dan Kuningan menarik gelombang baru pekerja profesional dan ekspatriat berpenghasilan tinggi , yang pada gilirannya menciptakan permintaan akan fasilitas gaya hidup dan hiburan yang lebih beragam, seperti yang ditawarkan oleh “Little Tokyo”. Setiap elemen saling memberi makan: perumahan elit menopang mal, mal melayani para pekerja korporat, dan kantor-kantor korporat menyediakan mesin ekonomi yang menggerakkan semuanya. 

Pelestarian dan Keterpinggiran: Sisi Lain Modernisasi

Namun, narasi pembangunan yang gemilang ini memiliki sisi lain yang lebih muram. Modernisasi yang tak kenal ampun juga berarti keterpinggiran bagi sebagian elemen masyarakat dan budaya asli.

Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan

Seiring Jakarta yang semakin modern dan kosmopolitan, budaya Betawi sebagai etnis asli Jakarta semakin terdesak. Tanah-tanah mereka tergusur oleh proyek-proyek pembangunan, dan identitas budaya mereka terancam larut dalam lautan pendatang. Sebagai respons terhadap ancaman ini, pemerintah menetapkan kawasan Setu Babakan di Jagakarsa, Jakarta Selatan, sebagai Perkampungan Budaya Betawi. Penetapan ini, yang dikukuhkan melalui Peraturan Daerah, bertujuan untuk menjadi benteng pelestarian di mana seni, arsitektur, kuliner, dan tradisi Betawi dapat dibina, dikembangkan, dan ditampilkan kepada publik. Setu Babakan menjadi sebuah pengingat hidup tentang akar budaya Jakarta di tengah deru modernitas.

Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata

Di tengah hiruk pikuk kawasan Pancoran, terdapat sebuah oase kesunyian dan memori kolektif bangsa: Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata. Didirikan pada 1953 atas prakarsa Presiden Soekarno untuk memindahkan makam pahlawan dari Ancol, TMP Kalibata dirancang oleh arsitek Friedrich Silaban. Tempat ini menjadi peristirahatan terakhir bagi para pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, pejabat tinggi negara, dan bahkan puluhan tentara Jepang yang memilih untuk berjuang di pihak Indonesia setelah Perang Dunia II. TMP Kalibata berfungsi sebagai jangkar sejarah yang sakral, sebuah pengingat abadi akan pengorbanan yang menjadi fondasi negara, berdiri kontras dengan dinamika komersial yang mengelilinginya.

Pada periode ini, Blok M tidak hanya menjadi pusat ekonomi, tetapi juga pusat produksi budaya. Dengan melahirkan tren bahasa, mode, dan gaya hidup yang kemudian disebarluaskan melalui media populer seperti film dan musik, Blok M menciptakan sebuah “modal budaya” yang tak ternilai. “Keren”-nya Blok M menjadi identitas yang melekat pada Jakarta Selatan, sebuah daya tarik intangible yang sama kuatnya dengan daya tarik ekonominya. Modal budaya inilah yang meletakkan fondasi langsung bagi kemunculan fenomena “Anak Jaksel” beberapa dekade kemudian. 

Bagian V: Wajah Kontemporer dan Identitas “Jaksel”

Memasuki abad ke-21, Jakarta Selatan telah mengukuhkan posisinya sebagai pusat modernitas Indonesia. Warisan dari dekade-dekade sebelumnya—pemukiman elit, pusat komersial yang dinamis, dan konsentrasi modal global—berkristalisasi menjadi sebuah fenomena budaya yang kompleks dan sering diperdebatkan: identitas “Anak Jaksel.” Di saat yang sama, tekanan pembangunan yang tak henti-hentinya menciptakan sebuah dilema krusial antara pelestarian warisan sejarah dan tuntutan ekonomi.

Analisis Fenomena “Anak Jaksel”

Fenomena “Anak Jaksel” lebih dari sekadar stereotip demografis; ia adalah sebuah penanda identitas sosial yang kuat, diekspresikan terutama melalui bahasa dan gaya hidup.  

Bahasa Sebagai Penanda Kelas

Ciri paling kentara dari fenomena ini adalah penggunaan bahasa campur-kode (code-switching) antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Ungkapan seperti “which is”, “literally”, “basically”, dan “prefer” yang diselipkan dalam percakapan sehari-hari bukan sekadar slang, melainkan sebuah sosiolek—dialek yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu untuk menandakan identitasnya. Penggunaan bahasa ini secara sadar atau tidak sadar merupakan sebuah performa identitas yang mengasosiasikan penuturnya dengan citra global, berpendidikan tinggi, dan kelas sosial atas. Fenomena linguistik ini berakar kuat pada realitas sosio-ekonomi Jakarta Selatan, yang merupakan rumah bagi banyak perusahaan multinasional, sekolah internasional, dan komunitas ekspatriat, sehingga paparan terhadap Bahasa Inggris menjadi hal yang lumrah. 

Kritik Sosial dan Budaya Konsumerisme

Identitas “Anak Jaksel” juga tak terpisahkan dari budaya konsumerisme yang kental. Ia lekat dengan gaya hidup yang berpusat pada kegiatan seperti mengunjungi kafe-kafe instagrammable, mengikuti tren mode terkini, dan menghabiskan waktu di pusat-pusat hiburan modern. Gaya hidup ini sering kali menjadi sasaran kritik sosial. Fenomena ini dituding sebagai bentuk “pencitraan” (image-building), hedonisme, dan penanda kesenjangan sosial yang semakin lebar antara kelompok elit urban dengan mayoritas masyarakat Indonesia. Lebih jauh lagi, dominasi bahasa campur-kode ini juga memicu kekhawatiran akan dampaknya terhadap eksistensi dan apresiasi terhadap Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang dianggap dapat mengikis identitas nasional di kalangan generasi muda.  

Namun, perlu dicatat bahwa fenomena ini bukanlah sesuatu yang muncul dari ketiadaan. Ia adalah evolusi logis dari peran historis Jakarta Selatan sebagai titik temu antara budaya lokal dan tren global. Apa yang terjadi di Lintas Melawai pada tahun 1980-an dengan slang dan mode impornya, kini terjadi di kafe-kafe Senopati dengan bahasa campur-kode dan estetika media sosialnya. “Anak Jaksel” adalah pewaris budaya dari generasi “anak gaul” Blok M, yang beradaptasi dengan medium dan pengaruh zaman yang baru.

Debat Pelestarian vs. Pembangunan

Seiring dengan meningkatnya status Jakarta Selatan sebagai pusat bisnis dan gaya hidup, nilai tanah di kawasan-kawasan strategis seperti Kebayoran Baru meroket tajam. Konsekuensinya, bangunan-bangunan tua yang bersejarah, termasuk rumah-rumah bergaya Jengki yang ikonik, berada di bawah ancaman pembongkaran untuk digantikan oleh properti komersial yang lebih menguntungkan. Konflik antara nilai ekonomi dan nilai sejarah ini menjadi debat sentral dalam pembangunan kontemporer di Jakarta Selatan. 

Nasib Arsitektur Jengki dan Kelahiran M Bloc Space

Banyak rumah Jengki yang asli telah lenyap, berganti rupa menjadi ruko, restoran, atau rumah modern. Namun, di tengah tren ini, muncul sebuah model pelestarian yang inovatif sekaligus komersial: M Bloc Space. Berlokasi di bekas kompleks perumahan dinas Perusahaan Umum Percetakan Uang RI (Peruri) yang dibangun pada 1950-an, M Bloc Space adalah contoh utama dari praktik adaptive reuse. Bangunan-bangunan tua bergaya Jengki yang telah lama kosong direvitalisasi dan dialihfungsikan menjadi ruang kreatif yang menampung restoran, kafe, toko musik, dan panggung pertunjukan.

Proyek ini berhasil “menyelamatkan” arsitektur bersejarah dengan cara membuatnya relevan dan menguntungkan secara ekonomi. M Bloc dengan cepat menjadi salah satu titik kumpul favorit bagi kaum muda Jakarta, ironisnya, bagi demografi “Anak Jaksel” itu sendiri. Kesuksesan M Bloc Space menunjukkan sebuah paradigma baru: pelestarian arsitektur di Jakarta Selatan tampaknya semakin bergantung pada kemampuannya untuk dikomodifikasi dan diintegrasikan ke dalam ekosistem gaya hidup kontemporer. Ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah ini pelestarian otentik, atau sekadar komodifikasi nostalgia? 

Regulasi Cagar Budaya

Pemerintah sebenarnya telah memiliki kerangka hukum untuk melindungi warisan sejarah. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjadi payung hukum nasional, yang mendefinisikan kriteria sebuah bangunan atau kawasan untuk dilindungi. Di tingkat daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga memiliki regulasi spesifik, seperti Peraturan Daerah No. 9 Tahun 1999 dan yang lebih baru, Peraturan Gubernur No. 146 Tahun 2016 yang secara khusus mengatur Penataan Ruang Kawasan Kebayoran Baru.

Peraturan-peraturan ini menetapkan zona-zona pelestarian, batasan pembangunan, dan insentif bagi pemilik cagar budaya. Namun, penegakannya di lapangan sering kali berbenturan dengan tekanan ekonomi yang sangat kuat. Tingginya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di kawasan premium seperti Kebayoran Baru membuat kepemilikan rumah tua menjadi beban finansial yang berat, mendorong pemilik untuk menjual atau menyewakannya untuk fungsi komersial yang melanggar zonasi. Debat ini merefleksikan pertarungan yang terus-menerus antara idealisme pelestarian dan pragmatisme pasar di jantung Jakarta Selatan. 

Bagian VI: Jakarta Selatan di Persimpangan Jalan – Masa Depan Pasca-IKN

Keputusan pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Nusantara di Kalimantan Timur adalah salah satu kebijakan paling transformatif dalam sejarah modern Indonesia. Langkah monumental ini menempatkan Jakarta, dan khususnya Jakarta Selatan sebagai pusat bisnis dan gaya hidupnya, di sebuah persimpangan jalan yang krusial. Masa depannya tidak lagi pasti, dipenuhi dengan proyeksi ekonomi yang beragam, potensi pergeseran budaya, dan tantangan untuk mendefinisikan ulang identitasnya di era pasca-ibu kota.

Jakarta Tanpa Status Ibu Kota

Hilangnya status sebagai pusat pemerintahan nasional membawa serta risiko dan peluang yang signifikan bagi Jakarta Selatan.

Proyeksi dan Risiko Ekonomi

Para analis terbelah dalam memprediksi dampak ekonomi dari pemindahan IKN. Skenario pesimistis menyoroti risiko inner city decline, di mana perpindahan kementerian, lembaga negara, dan perusahaan-perusahaan terkait akan menyebabkan kekosongan ruang perkantoran yang masif di Segitiga Emas Sudirman-Kuningan, yang pada akhirnya menekan harga sewa dan nilai properti komersial. Kegelisahan juga muncul terkait potensi hilangnya sumber pendapatan bagi jutaan warga yang hidupnya bergantung pada roda perekonomian yang digerakkan oleh status ibu kota.  

Namun, ada pula skenario optimistis yang kuat. Banyak yang berpendapat bahwa Jakarta akan bertransisi menjadi pusat bisnis dan finansial murni, mirip dengan peran New York City di Amerika Serikat setelah ibu kota pindah ke Washington, D.C.. Dalam pandangan ini, Jakarta akan tetap menjadi magnet utama bagi investasi dan talenta karena infrastruktur, ekosistem bisnis, dan pasar konsumennya yang sudah sangat matang. Pelepasan fungsi administratif justru dianggap sebagai sebuah “beban yang terangkat” (the great unburdening). Tanpa harus melayani kebutuhan birokrasi pusat, Jakarta dapat lebih fokus dalam mengatasi masalah-masalah urban kronisnya (kemacetan, polusi, banjir) dan memantapkan dirinya sebagai kota global yang sesungguhnya. 

Pergeseran Pasar Properti

Dampak pada pasar properti diperkirakan akan bervariasi antar sektor. Sektor perkantoran komersial di Segitiga Emas menghadapi ketidakpastian terbesar karena potensi eksodus penyewa dari kalangan pemerintah dan BUMN. Sebaliknya, pasar properti residensial di Jakarta, terutama di kawasan-kawasan mapan seperti Jakarta Selatan, diprediksi akan tetap stabil bahkan mungkin meningkat. Jakarta akan terus menjadi pusat kesempatan kerja dan gaya hidup utama di Indonesia, sehingga permintaan akan hunian berkualitas akan tetap tinggi. Sementara itu, dampak pemindahan IKN sudah terasa di Kalimantan Timur, di mana permintaan untuk lahan industri dan pergudangan di kota-kota penyangga seperti Balikpapan meningkat pesat, terutama dari sektor barang konsumsi (FMCG) yang bersiap melayani populasi baru di IKN. 

Masa Depan Identitas Budaya

Pertanyaan yang lebih mendalam adalah tentang bagaimana “jiwa” Jakarta Selatan akan berevolusi. Selama ini, kedekatannya dengan pusat kekuasaan politik turut membentuk prestise dan dinamika sosialnya.

Pencarian “Ruh” Baru Jakarta

Dengan pindahnya pusat politik, Jakarta didorong untuk menemukan kembali identitasnya. Pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan budaya mulai menggaungkan narasi baru: Jakarta sebagai kota global yang berlandaskan pada budaya. Dalam konteks ini, ada upaya sadar untuk mengangkat kembali budaya Betawi sebagai “ruh” atau jiwa Jakarta, sebagai fondasi identitas lokal yang dapat bersanding dengan aspirasi globalnya. Ini adalah sebuah upaya untuk mengisi kekosongan identitas yang mungkin ditinggalkan oleh perginya status ibu kota.

Tantangan bagi Hegemoni Budaya “Jaksel”

Fenomena “Anak Jaksel” sebagai penentu tren nasional juga menghadapi tantangan baru. Pemerintah secara aktif mempromosikan “Segitiga Emas” baru di Kalimantan Timur yang mencakup IKN, Balikpapan, dan Samarinda, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan inovasi masa depan. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia, Segitiga Emas Jakarta memiliki pesaing yang didukung penuh oleh negara. Aliran investasi, talenta, dan perhatian media yang mulai terbagi ke IKN berpotensi menggeser pusat gravitasi budaya. Apakah Jakarta Selatan akan tetap menjadi kiblat gaya hidup, ataukah sebuah pusat budaya baru yang berbeda akan lahir di ibu kota yang baru? Masa depan hegemoni budaya “Jaksel” akan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk tetap relevan dalam lanskap nasional yang berubah ini. 

Pada akhirnya, pemindahan IKN bukan hanya soal memindahkan gedung-gedung pemerintahan. Ia adalah sebuah eksperimen raksasa yang akan menguji ketahanan ekonomi, kelenturan sosial, dan kekuatan identitas Jakarta. Bagi Jakarta Selatan, ini adalah momen untuk membuktikan bahwa statusnya sebagai jantung metropolitan Indonesia tidak hanya bergantung pada kedekatannya dengan kekuasaan politik, tetapi pada kekuatan fundamental yang telah dibangunnya selama lebih dari setengah abad: sebagai pusat modal, kreativitas, dan aspirasi.

Kesimpulan: Refleksi Perjalanan Sebuah Kota

Kisah Jakarta Selatan adalah sebuah epik urban yang terbentang dari hamparan tanah partikelir kolonial hingga menjadi jantung metropolitan yang kompleks dan dinamis. Perjalanannya bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari serangkaian keputusan, visi, dan kekuatan sosial yang saling berkelindan. Sebagaimana telah diurai dalam laporan ini, identitas Jakarta Selatan yang kita kenal hari ini—sebagai pusat kemewahan, bisnis, dan tren budaya—merupakan produk dari sejarahnya yang berlapis-lapis.

Narasinya dimulai dari fondasi yang tak terduga: sistem landgoed kolonial yang secara ironis menyediakan kanvas luas bagi para perencana pasca-kemerdekaan. Di atas kanvas inilah, visi kebangsaan Presiden Soekarno dilukiskan, diwujudkan melalui cetak biru “kota taman” karya Moh. Soesilo yang terinspirasi oleh Thomas Karsten. Kota satelit Kebayoran Baru lahir sebagai sebuah eksperimen, sebuah penolakan fisik terhadap tatanan kolonial yang diwujudkan dalam arsitektur Jengki yang bebas dan pemberontak. Landmark seperti Masjid Agung Al-Azhar dan Tugu Dirgantara Pancoran kemudian didirikan bukan hanya sebagai bangunan, tetapi sebagai pilar-pilar ideologis yang menopang citra bangsa yang baru.

Era Ali Sadikin datang dengan pragmatisme keras, di mana kebijakan kontroversial seperti pajak judi digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur masif yang dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan yang tak terkendali. Puncaknya adalah penetapan status Kota Administrasi pada 1978, sebuah pengakuan formal atas peran vital yang telah dimainkan oleh wilayah selatan. Selanjutnya, ledakan ekonomi dekade 1980-an dan 1990-an melahirkan mesin-mesin komersial seperti Blok M dan SCBD, yang tidak hanya menjadi pusat ekonomi tetapi juga inkubator budaya pop yang pengaruhnya terasa hingga kini. Fenomena “Anak Jaksel” kontemporer, dengan segala kompleksitas linguistik dan sosialnya, adalah pewaris langsung dari modal budaya yang telah terakumulasi sejak era Lintas Melawai.

Kini, Jakarta Selatan berdiri di persimpangan sejarah. Pemindahan Ibu Kota Negara ke Nusantara menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Ia memaksa Jakarta untuk mendefinisikan ulang eksistensinya, lepas dari bayang-bayang kekuasaan politik dan bertumpu sepenuhnya pada kekuatannya sebagai pusat ekonomi dan budaya global.

Pada akhirnya, riwayat Jakarta Selatan merefleksikan sebuah tegangan yang abadi dalam pembangunan kota di Indonesia: pertarungan antara perencanaan top-down yang teratur (visi Kebayoran Baru, Rencana Induk, regulasi zonasi) dan pertumbuhan organik bottom-up yang sering kali liar dan tak terduga (munculnya kampung kumuh, budaya jalanan Blok M, fenomena “Anak Jaksel”). Sejarah wilayah ini adalah bukti bahwa sebuah kota lebih dari sekadar kumpulan gedung dan jalan; ia adalah organisme hidup yang terus-menerus bernegosiasi antara rencana dan realitas, antara pelestarian masa lalu dan desakan untuk membangun masa depan. Babak selanjutnya dalam kisah Jakarta Selatan, di era pasca-ibu kota, kini sedang mulai ditulis.

Daftar Pustaka

Peraturan Pemerintah dan Dokumen Resmi

  1. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1978 tentang Pembentukan Wilayah Kota Dan Kecamatan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diakses 5 Juli 2025, dari https://bphn.go.id/data/documents/78pp025.pdf.
  2. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peraturan Gubernur (PERGUB) Nomor 146 Tahun 2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kawasan Kebayoran Baru. Diakses 5 Juli 2025.

Jurnal Akademik dan Tesis

  1. Fauzi, M., dan A. Manaf. (2020). Kebayoran Baru: The First Well-Planned Satellite Town in Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung (ITB). Diakses 5 Juli 2025, dari https://journals.itb.ac.id/index.php/jpwk/article/download/14311/5147/47885.
  2. Universitas Gadjah Mada (UGM). Jurnal Humaniora: Urbanisasi dan Transformasi Sosial di Jakarta. Diakses 5 Juli 2025.
  3. Universitas Sebelas Maret (UNS). Peranan Ali Sadikin dalam Pembangunan Kota Jakarta Tahun 1966-1977. Diakses 5 Juli 2025, dari https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/32267/NzQ1NDM=/Peranan-Ali-Sadikin-dalam-pembangunan-kota-Jakarta-tahun-1966-1977-bab4.pdf.

Artikel Sejarah dan Berita

  1. Historia.id. Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta. Diakses 5 Juli 2025, dari https://historia.id/article/pajak-kasino-untuk-pembangunan-jakarta-prvja.
  2. Historia.id. Rumah Jengki dan Spirit Kebebasan. Diakses 5 Juli 2025, dari https://historia.id/article/rumah-jengki-dan-spirit-kebebasan-vxkqj.
  3. Historia.id. Kisah Tugu Pancoran. Diakses 5 Juli 2025.
  4. Kompas.com. Sejarah SCBD, Dulu Kawasan Kumuh Kini Jadi Kawasan Elit. Diakses 5 Juli 2025, dari https://properti.kompas.com/read/2021/10/28/063000921/sejarah-scbd-dulu-kawasan-kumuh-kini-jadi-kawasan-elit-di-jantung?page=all.
  5. Liputan6.com. Sejarah Masjid Agung Al Azhar, Masjid Terbesar di Kebayoran Baru. Diakses 5 Juli 2025, dari https://www.liputan6.com/islami/read/4933931/sejarah-masjid-agung-al-azhar-masjid-terbesar-di-kebayoran-baru-yang-didirikan-tokoh-partai-masyumi.
  6. Tirto.id. Sejarah Kelahiran Kebayoran Baru, Kota Satelit Pertama di Indonesia. Diakses 5 Juli 2025, dari https://tirto.id/sejarah-kelahiran-kebayoran-baru-kota-satelit-pertama-di-indonesia-cEBe.

Analisis Budaya, Gaya Hidup, dan Ekonomi

  1. Jakarta Globe. Blok M, Jakarta’s Little Tokyo. Diakses 5 Juli 2025, dari https://jakartaglobe.id/multimedia/blok-m-jakartas-little-tokyo.
  2. Unseen Japan. An Expat’s Guide to Jakarta’s ‘Little Tokyo’ in Blok M. Diakses 5 Juli 2025, dari https://unseen-japan.com/jakarta-little-tokyo-blok-m/.
  3. The Conversation. Fenomena ‘Anak Jaksel’: Kreativitas Berbahasa atau Ancaman bagi Identitas Bangsa? Diakses 5 Juli 2025.
  4. Berbagai sumber media bisnis mengenai proyeksi ekonomi dan properti Jakarta pasca pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest