Setu Babakan: Denyut Nadi Terakhir Peradaban Betawi di Jantung Metropolitan

Di tengah deru beton dan baja Jakarta Selatan yang tak pernah tidur, tersembunyi sebuah anomali. Sebuah kapsul waktu seluas 66 hektar yang menolak untuk menyerah pada zaman. Inilah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, sebuah lanskap di mana gemericik air danau, aroma kerak telor yang dibakar di atas arang, dan alunan gambang kromong menjadi penanda peradaban yang masih bernapas. Ini bukan sekadar destinasi wisata; ini adalah benteng pertahanan terakhir, sebuah narasi tentang perjuangan, identitas, dan kegigihan masyarakat Betawi dalam menjaga jiwanya.

Sejarah Setu Babakan bukanlah cerita yang tertulis dalam satu malam. Ia adalah mozaik yang tersusun dari kepingan ekologi, sosial, dan politik yang kompleks.

Babakan: Sebuah Kampung Baru di Tepi Danau Kehidupan

Jauh sebelum plang “Perkampungan Budaya Betawi” berdiri gagah, kawasan ini adalah tanah kehidupan yang denyutnya bersumber dari dua danau: Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong. Dalam leksikon lokal, ‘setu’ atau ‘situ’ berarti danau atau telaga—sebuah badan air yang menjadi pusat ekosistem. Menurut para tetua setempat dan catatan sejarah lisan, nama “Babakan” sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti “kampung baru” atau dusun. Ini mengindikasikan bahwa area ini dulunya adalah sebuah pemukiman baru yang didirikan oleh para perantau atau penduduk lokal yang membuka lahan di tepi danau.

Kehidupan masyarakat pra-konservasi sangat bergantung pada kemurahan alam. Para pria menjadi nelayan, menebar jala di perairan danau yang saat itu masih jernih dan kaya akan ikan. Sementara itu, lahan di sekitarnya yang subur ditanami pohon buah-buahan yang khas seperti rambutan, kecapi, dan melinjo—pemandangan yang kini menjadi bagian dari agrowisata di perkampungan tersebut. Air danau tidak hanya menjadi sumber pangan, tetapi juga benteng pertahanan ekologis vital bagi kawasan Jagakarsa dan sekitarnya, berfungsi sebagai daerah resapan air yang krusial untuk mencegah banjir di hilir. Kehidupan komunal begitu kental, diikat oleh tradisi dan ritus yang semuanya berpusat pada siklus alam.

Titik Balik: Ancaman Pembangunan dan Lahirnya Sebuah Benteng

Memasuki dekade 1990-an, Jakarta menjelma menjadi monster pembangunan. Lahan-lahan hijau di pinggiran kota, termasuk di sekitar Setu Babakan, mulai tergerus oleh perumahan, ruko, dan jalan-jalan baru. Para tokoh masyarakat Betawi, yang dipimpin oleh figur-figur seperti H. Irwan Sjafi’ie dan H. Nawan, mulai merasakan keresahan yang mendalam. Mereka melihat peradaban mereka—bahasa, adat, kesenian, dan arsitektur—perlahan terkikis, terdesak oleh modernitas yang tak kenal ampun.

“Kala itu, kami merasa seperti tamu di rumah sendiri,” sebuah sentimen yang kerap diulang oleh para sesepuh saat mengenang masa-masa itu. Dari keresahan inilah lahir sebuah gagasan radikal: mendirikan sebuah benteng budaya. Sebuah perkampungan yang tidak hanya melestarikan artefak, tetapi juga menjaga denyut kehidupan Betawi tetap berdetak.

Perjuangan panjang mereka akhirnya membuahkan hasil di awal milenium baru. Melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 9 Tahun 2000, yang saat itu ditandatangani oleh Gubernur Sutiyoso, area Setu Babakan secara resmi ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya dan Perkampungan Budaya Betawi. Penetapan ini bukan sekadar pengakuan di atas kertas. Ia adalah mandat untuk melindungi, mengembangkan, dan merevitalisasi sisa-sisa peradaban Betawi yang paling otentik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Dinas Kebudayaan, mulai menggelontorkan dana dan program untuk membangun infrastruktur, panggung pertunjukan, museum, dan pusat-pusat pelatihan.

Panggung Hidup Bernama Setu Babakan

Penetapan sebagai cagar budaya mengubah wajah Setu Babakan secara fundamental. Ia bertransformasi dari sebuah kampung agraris biasa menjadi sebuah “museum hidup”. Di sini, budaya tidak dipajang di dalam etalase kaca, melainkan dipraktikkan, diajarkan, dan dirayakan setiap hari.

Di panggung-panggung terbuka, kelompok-kelompok seni lokal mementaskan Lenong, Tari Topeng, hingga Silat Beksi. Suara Gambang Kromong dan Tanjidor bukan lagi hal asing di telinga para pengunjung. Prosesi adat seperti Palang Pintu dalam upacara pernikahan Betawi direka ulang tidak hanya sebagai tontonan, tetapi juga sebagai materi edukasi bagi generasi muda.

Di sisi kuliner, aroma Kerak Telor yang khas menjadi menu penyambutan. Para pengunjung dapat melihat langsung proses pembuatannya, sebuah pengalaman otentik yang jarang ditemukan di tempat lain. Minuman legendaris Bir Pletok—bir tanpa alkohol yang kaya akan rempah—disajikan untuk menghangatkan badan, sementara Dodol Betawi yang legit menjadi buah tangan wajib.

Arsitektur pun dijaga ketat. Rumah-rumah penduduk didorong untuk mengadopsi gaya arsitektur Betawi asli, lengkap dengan lisplang gigi balang dan ukiran khas. Sebuah museum dibangun untuk menceritakan sejarah Betawi melalui foto, artefak, dan diorama, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Tantangan di Depan Gerbang

Meskipun telah menjadi benteng yang kokoh, Setu Babakan tidak luput dari tantangan. Pertarungan terbesar yang dihadapinya kini bersifat internal: bagaimana menyeimbangkan otentisitas dengan komersialisasi pariwisata? Bagaimana memastikan bahwa budaya yang ditampilkan bukanlah sekadar pertunjukan yang dikemas untuk turis, melainkan cerminan kehidupan yang sesungguhnya?

Tantangan lainnya adalah regenerasi. Di tengah gempuran budaya populer global, meyakinkan generasi muda Betawi untuk menjadi penerus penari, musisi, atau perajin bukanlah perkara mudah. Diperlukan inovasi dan pendekatan yang relevan agar warisan ini tidak berhenti di generasi tua.

Pada akhirnya, sejarah Setu Babakan adalah cerminan dari sejarah Jakarta itu sendiri. Sebuah kisah tentang bagaimana sebuah komunitas berjuang untuk tidak kehilangan wajahnya di tengah arus perubahan yang dahsyat. Ia adalah pengingat bahwa di antara hutan beton sekalipun, sebuah danau, sebuah kampung, dan sebuah budaya dapat terus hidup, bernapas, dan memberi arti bagi identitas sebuah kota besar.


Daftar Pustaka

  1. Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta. (2018). Sejarah dan Profil Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Diakses dari situs resmi Dinas Kebudayaan dan pariwisata terkait.
  2. Situs Resmi Perkampungan Budaya Betawi. Tentang Kami: Sejarah Singkat. Diakses 6 Juli 2025, dari https://setubabakanbetawi.com/.
  3. Kompas.com. (Arsip Artikel). Setu Babakan, Upaya Merawat Denyut Nadi Budaya Betawi.
  4. Jakarta-Tourism.go.id. Setu Babakan Betawi Cultural Village. Diakses 6 Juli 2025.
  5. Wawancara dan dokumentasi lisan dengan tokoh masyarakat Betawi dan pengelola PBB Setu Babakan yang dirangkum dari berbagai sumber berita dan dokumenter.

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest